JANGAN bergunjing di bulan puasa!. Kalimat larangan yang cukup populer ini terdengar baik dan bijak, tapi sesungguhnya perlu dicermati ulang. Sebab, ia berpotensi disalahpahami bahwa: setelah Ramahan berlalu, silakan saja bergunjing!.
Ada kesan bahwa yang membuat bergunjing atau ghibah itu dilarang adalah puasa Rama dhan, padahal bukan. Larangan ghibah itu punya pembahasan tersendiri dalam agama, sedangkan perintah puasa juga punya pembahasan tersendiri (walaupun keduanya bisa saja bersinggungan pada titik tertentu).
Bergunjing itu dilarang kapanpun. “Apakah kamu suka memakan bangkai saudaramu sendiri?” (Q.S al-Hujarat: 12), yang menggambarkan betapa menjijikkannya perilaku ini. Saking tegasnya ayat dan Hadis tentang larangan ghibah, semua ulama sepakat (ijma) bahwa perbuatan ini adalah dosa, bahkan termasuk dosa besar, tak peduli apakah ia dilakukan di bulan Ramadan atau di luar Ramahan.
Lantas, mengapa ia dikaitkan dengan puasa? Karena memang ada riwayat atau penjelasan bahwa perbuatan maksiat akan mengurangi bahkan menguras pahala puasa. Di antara bentuk maksiat itu adalah ghibah. Kata kuncinya adalah “mengurangi pahala puasa”.
Di titik inilah pembahasannya mesti didudukkan. Bahwa ghibah tetaplah ghibah, kapan pun ia dilakukan. Kemudian, jika orang berpuasa melakukan ghibah, maka dari sisi ghibahnya berarti ia telah melakukan dosa, sedangkan dari sisi puasanya berarti ia telah menguras sendiri pahala puasanya.
Sebenarnya bukan hanya ghibah, tapi juga perbuatan lain yang setipe dengannya, seperti mengumpat, berbohong, menghina, dan berkata kotor, serta perbuatan maksiat secara umum. Semua perbuatan ini terlarang kapan dan di manapun. Jika dilakukan di bulan puasa, maka ia sekaligus akan mengurangi pahala puasa.
Ada banyak ungkapan-ungkapan keseharian masyarakat terkait ini yang berpotensi disalahpahami. Oleh karena itu, jika ada ungkapan “ini bulan puasa, jangan bohong!”, “jangan berjudi di bulan puasa!”, dan seterusnya, maka maksudnya sama dengan penjelasan tentang ghibah di atas. Kapanpun, berjudi dan berbohong itu dilarang, tetapi jika dilakukan di bulan puasa, maka perbuatan itu sekaligus akan menguras pahala puasa.
Ini hanyalah di antara ungkapan-ungkapan berbasis agama yang sering kita dengar, tapi perlu ditelaah ulang. Masih ada sejumlah ungkapan lain yang berpotensi memunculkan kesalahpahaman. Syukurnya, ghibah, berbohong, berkata kotor, dan sejenisnya yang dikaitkan dengan puasa itu hanya terjadi dalam ungkapan sehari-hari masyarakat.
Sementara itu, ada ungkapan lain yang seolah sudah jadi slogan, lalu dikampanyekan secara massif oleh jaringan, kelompok, atau organisasi tertentu, bahkan didukung oleh pemerintah, misalnya “stop kekerasan atas nama agama!” atau “hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak!”.
Kampanye “stop kekerasan atas nama agama” berpotensi memunculkan pemahaman bahwa kekerasan yang tidak atas nama agama sah-sah saja dilakukan. Padahal, tindak kekerasan yang mengatasnamakan apapun harusnya dilarang, atas nama negara sekalipun.
Agama melarang tindak kekerasan dalam bentuk apapun, baik yang mengatasnamakan agama, selain agama, maupun tanpa mengatasnamakan apapun. Demikian juga hukum negara. Ia melarang segala bentuk kekerasan, baik yang mengatasnamakan individu, kelompok, bahkan negara. Jika slogan ini terus dipopulerkan, akan semakin muncul kesan bahwa hanya agama yang menstimulasi kekerasan. Padahal, banyak sekali unsur dan entitas lain di sekeliling kita yang menstimulasi kekerasan.
Demikian juga halnya dengan kampanye “stop kekerasan terhadap perempuan dan anak”. Bukankah kekerasan terhadap siapapun harus distop? Tak peduli apakah mereka anak-anak, kaum perempuan, orang tua, bahkan laki-laki dewasa sekalipun. Bisa saja pelaku tindak kekerasan itu adalah perempuan, sedangkan korbannya adalah laki-laki. Apakah jenis kekerasan seperti ini akan dibiarkan? Tentu tidak!
Ungkapan “santuni anak yatim dan fakir-miskin di hari raya” juga santer terdengar. Faktanya, aksi-aksi amal dan filantropi terhadap anak yatim dan fakir-miskin memang lebih populer di momen menjelang hari raya. Padahal, mereka tidak hanya hidup di hari raya. Bahkan, santunan di momen hari raya ini konteksnya lebih pada pemenuhan kebutuhan tersier, bahkan cenderung disalahgunakan untuk laku hedonis, seperti main mercon, kembang api, pistol-pistolan, kuota, chip, dan sejenisnya.
Ada kebutuhan hidup yang lebih urgen bagi mereka ketimbang sekedar baju baru, kembang api, atau chip, yaitu kebutuhan pendidikan, terutama pendidikan agama. Berpakaian baru di hari raya hukumnya hanya sunnah; main mercon, kembang api, dan chip barangkali bisa dihukum makruh; namun pendidikan atau menuntut ilmu hukumnya wajib. Kaidah fikih mengajarkan, jika amalan sunnah berbenturan dengan amalan wajib (tanpa terelakkan), maka dahulukan yang wajib dan kesampingkan yang sunnah untuk sementara waktu.
“Bukanlah hari raya itu milik orang yang berpakaian baru, melainkan bagi orang yang takut pada hari pembalasan,” ungkap Umar bin Abdul Aziz. (*)