KHATIB, METRO–Bencana banjir yang terjadi pekan lalu di Kota Padang menyisakan sejumlah perhatian dari sejumlah pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang. Pemerintah Kota Padang dinilai perlu mengevaluasi penyebab terjadinya banjir yang melanda Padang.
Plh. Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi mengungkapkan, selama tahun 2020 hingga tahun 2022 sudah terjadi setidaknya tujuh kali banjir serupa dari data yang diperolehnya dari BPBD Kota Padang.
Lanjutnya, pemerintah sebenarnya juga mengabaikan hak warga negara untuk memperoleh lingkungan yang bersih dan sehat. “Kejadian itu cukup melumpuhkan Kota Padang, ini tentunya ada persoalan dan sudah diamanatkan di dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 terkait penanggulangan bencana,” ungkap Diki kepada wartawan, Jumat (21/7)
“Pemerintah semestinya bertanggung jawab dan memberikan rasa aman kepada masyarakat, dengan ini sebenarnya kami ingin memperingati Pemko Padang tolong diurusi persoalan banjir ini hingga clear dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif,” kata Diki
Dijelaskan, sebenarnya persoalan banjir ini memang terjadi dimana-mana, tetapi, kata Diki, dia tidak menerima alasan karena intensitas hujan yang tinggi dan pasang naik air laut.
“Tentunya pembangunan kota yang selaras dengan bagaimana soal mitigasi banjir ini, terkait soal daerah-daerah yang spot banjir kondisi kolam retensi bagaimana? Sungai bagaimana? Ini yang menjadi atensi utama kita, mengingat kejadian ini sudah berulang,” katanya.
Menurutnya, soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di KRK (Kerangka Rencana Kota) Padang perlu diawasi dan juga sesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
“Pemerintah Kota Padang juga harus mengevaluasi penerbitan izin-izin bangunan yang diterbitkan, Pemko Padang dinilai hanya memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertumbuhan ekonomi sementara mengabaikan hak atas lingkungan dari masyarakat kota,” katanya.
Menurut dia, LBH Padang juga menemukan beberapa titik pembangunan rumah perumnas yang dibangun di atas sungai yang telah mati, menurutnya, itu terjadi karena kurangnya pengawasan yang clear dari Pemerintah itu sendiri.
Seperti diketahui, banjir di Padang disebabkan oleh hujan deras yang terjadi sejak Kamis (13/7) malam hingga Jumat (14/7) pagi. Sebagian besar wilayah Kota Padang terendam banjir. Ketinggian bervariasi, dari 50 cm hingga satu meter.
Yitik banjir terparah di Kelurahan Dadok Tunggul Hitam berada di Jalan Parak Jambu Indah dan sekitarnya. Banjir mencapai setinggi dua meter sejak pukul 04.00. Banyak warga pun terjebak di dalam rumah.
Selain itu, juga terjadi longsor. Ada empat titik longsor di kawasan Bukit Gado-Gado, Kecamatan Padang Selatan. Dua anak balita meninggal dunia akibat tertimbun tanah longsor yang menimpa rumah di kawasan Bukit Gado-Gado. Kedua korban itu berinisial FKP (5) dan FAS (3).
Berdasarkan informasi dari BPBD, longsor terjadi Jumat (14/7) sekitar pukul 02.00 WIB. Saat itu, pemilik rumah HG terbangun mendengar gemuruh bukit yang ada di belakang rumah. HG beserta istri langsung berlari ke tempat anaknya tidur, namun keduanya sudah tertimbun tanah longsor.
Wako Hendri Septa juga mengatakan, hujan deras sejak Kamis (13/7) hingga Jumat (14/7) pagi itu menyebabkan banjir terjadi di 11 titik, dan pohon tumbang di 8 titik dengan jumlah pengungsi yang telah dievakuasi sebanyak 403 orang.
“Dari kejadian ini ratusan rumah terendam banjir, kemudian ada 7 rumah yang tertimpa longsor di Kecamatan Padang Selatan dengan kondisi rusak parah dan sedang, serta ada dua balita yang meninggal dunia akibat tertimbun longsor,” ucap Wako.
“Banjir kali ini merupakan salah satu yang terparah, terakhir yang parah itu pada 2016 lalu. Untuk itu kita akan rapat membahas penetapan status tanggap darurat bencana banjir ini. Untuk saat ini cuaca di Kota Padang sudah membaik, dan banjirnya sudah mulai surut,” pungkas Hendri Septa. (cr2)