Oleh: Reviandi
KEDATANGAN Audy Joinaldy di rimba perpolitikan Sumbar cukup menghentak selama sebulan terakhir. Ramai menghiasi baliho dan media sosial, akhirnya, Senin (11/2) pria 36 tahun dengan sederet gelar akademis mentereng itu membuat penampakan kepada media. Tak kurang 60-an wartawan berkumpul bersamanya di Rumah Makan Lamun Ombak, Khatib Sulaiman, Padang.
Apa yang menarik dari Audy yang lahir dan besar pun tidak pernah di Sumbar. Dari pengakuannya sendiri, dia diajak menjadi calon Wakil Gubernurnya Mahyeldi Ansharullah, dalam sebuah pertemuan di Makassar, Sulawesi Selatan akhir tahun lalu. Dia juga merasakan, secara kasat mata Mahyeldi “memilihnya” hanya karena market segmentation (segmentasi pasar) saja. Bahkan berulang-ulang minta itu dikonfirmasi langsung kepada Buya – sapaannya pada Mahyeldi.
Segmentasi pasar yang dimaksud Audy ini jelas, karena umurnya yang muda. Dia adalah bagian dari kaum milenial, yang disebut-sebut mencapai 25-30 persen jumlah pemilih di Sumbar. Apa itu milenial? Adalah kelompok demografi setelah Generasi X (kelahiran 1965-1980). Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an, tepatnya 1981-1996.
Audy yang lahir Mei 1983 tentu masih dapat dikatakan milenial, yang belum mencapai usia 40 tahun. Namun, apakah pilihan politik Mahyeldi itu tepat? Tentu harus diuji di Pilgub Sumbar 23 September 2020. Itupun kalau kedua partai, PKS-PPP (10 dan 4 kursi) sepakat berkoalisi dan mengusung pasangan Mahyeldi-Audy. Kalau tidak, tentu hipotesa itu tak bisa dibuktikan.
Karena, milenial lain yang muncul di Pilgub Sumbar ini “hanya” Aldi Taher (Oktober 1983) yang diragukan bisa maju melalui jalur perseorangan mendampingi Mayjen (Pur) Syamsu Jalal. Sementara sejumlah milenial yang awalnya disebut, ternyata sampai hari ini masih belum terlihat. Seperti Wali Kota Padangpanjang Fadly Amran (Februari 1988) dan Bupati Dharmasraya Sutan Riska (Mei 1989). Fadly lebih memilih fokus di kotanya, sementara SR, bakal berjuang mendapati periode keduanya.
Satu lagi milenial yang “terlempar” dari peta politik Pilgub Sumbar adalah Faldo Maldini (Juni 1990). Politisi PSI ini gagal menggugat Pasal 7 ayat (2) huruf e menyebutkan, calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus berusia paling rendah 30 tahun. Sedangkan untuk calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Bupati dan Wakil Bupati minimal berusia 25 tahun di Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, saat proses penetapan calon, umurnya belum genap 30 tahun.
Andai memenuhi syarat, banyak yang memrediksi, Faldo akan maju dari partai-partai yang belum mempunyai jagoan sendiri di Sumbar saat itu. Seperti PDI Perjuangan, Hanura, NasDem, PPP, PKB dan lainnya. Kini, dengan umurnya masih 29 tahun sekian bulan, Faldo mendaftar ke sejumlah partai untuk maju sebagai calon Bupati Pesisir Selatan (Pessel). Dia tak terganggu dengan “pertarungan” duo incumbent, Hendrajoni dan Rusmayul Anwar.
Nah, melihat fenomena pemilihan Gubernur di sejumlah provinsi 2018, memang benar, milenial bisa jadi harapan. Karena, banyak calon yang memenangkan pertarungan saat menggandeng milenial sebagai Wakil Gubernur. Seperti Emil Dardak (Mei 1984), waktu Pilgub berumur 33 tahun, sukses membantu Khofifah Indar Parawansa menjadi Gubernur Jawa Timur di kesempatan ketiganya.
Begitu juga di Provinsi Banten. Andika Hazrumy (Desember 1985), 32 tahun saat Pilgub, membantu Wahidin Halim mengalahkan politisi PDI P dan artis sekelas Rano Karno. Di Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen (Juli 1983), usia 34 tahun saat Pilgub, juga mendampingi Ganjar Pranowo di periode keduanya.
Di luar Jawa, juga terlihat di Sulawesi Selatan (Sulsel). Ketika Nurdin Abdullah menggandeng Andi Sudirman Sulaiman (September 1983), 34 tahun saat Pilgub, dan memenangkan pertarungan. Semua calon Gubernur saat itu sudah berusia di atas 50 tahun, sama seperti bakal calon Gubernur Sumbar Mahyeldi (Desember 1966) atau 53 tahun.
Kalau data membuktikan sudah efektif, tentunya mereka yang maju bukan hanya modal umur yang muda saja. Tentu harus ada kelebihan yang ditampilkan dan dapat meraup suara pada pemilihan nantinya. Jangan sampai, hanya menjadi pancukuik galeh saja andai menang. Namun, setidaknya, di Sumbar, beberapa Bupati milenial telah menunjukkan kiprahnya, meski belum berani “naik kelas” jadi Gubernur. Mungkin ingin mematangkan diri terlebih dahulu.
Bagi yang tetap ingin maju, harus benar-benar mempersiapkan diri. Tidak hanya tampang muda, tapi juga ilmu pemerintahan, kepemimpinan, dan skill khusus yang ditampilkan saat kampanye atau terpilih nanti. Setidaknya, Audy yang punya gelar banyak itu sudah menunjukkan, dia adalah pengusaha sukses di bidang peternakan dan industri pertanian di Indonesia bagian timur. Konsepnya terhadap pembangunan industri pertanian di Sumbar juga cukup memukau pewarta yang hadir di Lamun Ombak.
Kalau ditanya milenial bisa apa? Tentunya para calon atau bakal calon harus sering-sering menampilkan diri dengan ide atau gagasan yang brilian. Bagaimana cara mencapainya di tengah minimnya APBD Sumbar yang hanya Rp7,3 triliun itu. Saat pertumbuhan ekonomi (PE) Sumbar hanya 5,05 persen – terburuk sejak lima tahun terakhir. Harusnya para milenial memiliki gagasan yang mantap agar PE 7 persen itu tak lagi mimpi. (wartawan utama)
Komentar