Oleh: Reviandi
Menjadi anggota DPR atau DPRD itu gampang-gampang susah. Memang, banyak gampangnya ketimbang susah. Namun kalau sudah ketiban susah, ya bahaya. Bisa-bisa tak punya muka lagi di hadapan tetangga, orang kampung, bahkan satu Indonesia pun tahu. Jadi, kalau tak punya niat baik, tak punya kecakapan dan kehati-hatian, ya hati-hati jadi wakil rakyat.
Jangan sampai ketiban apa yang terjadi pada anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019. Mereka ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka dalam penyidikan perkara suap. Jumlahnya 28 orang. Terkait pengesahan Rancangan APBD Provinsi Jambi 2017-2018 yang melibatkan Gubernur Jambi Zumi Zola. Semuanya ditahan KPK, pakai rombi orange.
Kasus yang menyeret 28 anggota DPRD Jambi tersebut berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK 28 November 2017. Saat itu, KPK menangkap sejumlah orang dan berdasar hasil penyidikan ditetapkan 4 tersangka, yaitu anggota DPRD Provinsi Jambi, Supriyono, Plt Sekda Provinsi Jambi Erwan Malik, Plt Kadis PUPR Jambi Arfan, dan Asisten Daerah 3 Saipudin.
Apa yang terjadi di Jambi itu, sebenarnya pernah kejadian di Sumatra Barat 2004 lalu. 40 Anggota DPRD Sumbar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi APBD Sumbar 2002 senilai Rp 5,9 miliar secara bersama-sama. Mereka divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan penjara dan pimpinan 2 tahun tiga bulan pada 17 Mei 2004. Mereka diduga terseret karena tidak memakai Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 1999 dalam penyusunan anggaran.
Bahkan, 43 terdakwa korupsi tersebut mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak. Putusan yang diambil majelis Hakim Agung pimpinan Maman Suparman pada 2 Agustus 2005 silam memperkuat vonis Pengadilan Tinggi Sumatera Barat Agustus tahun 2004. Mereka memperberat hukuman tiga pimpinan menjadi 5 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 200 juta subsidair 4 bulan kurungan. Sedangkan 40 anggota 4 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsidair 4 bulan kurungan.
DPRD Padang juga begitu. Bedanya, MA membebaskan 40 anggota DPRD Padang dari dakwaan korupsi APBD. Majelis hakim kasasi yang diketuai Iskandar Kamil mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan terpidana. Putusan bebas tersebut diambil dalam rapat majelis hakim kasasi pada 24 Juni 2008.
Kasus korupsi DPRD Kota Padang senilai Rp 10,4 miliar melibatkan pimpinan dan anggota DPRD Kota Padang periode 1999-2004 sebanyak 40 orang. Majelis hakim Pengadilan Negeri Padang awalnya memvonis empat tahun penjara untuk semua anggota DPRD periode 1999-2004.
Tidak puas dengan putusan ini, mereka mengajukan banding. Namun, majelis hakim Pengadilan Tinggi Padang menguatkan putusan sebelumnya yang menghukum mereka masing-masing empat tahun penjara di samping hukuman denda dan membayar uang pengganti. Mereka kemudian mengajukan kasasi ke MA.
Nah, kata korupsi berjamaah memang sering menjadi pro-kontra di Sumbar. Banyak yang menganggap, kata jamaah itu sakral dan identik dengan shalat, ya shalat berjamaah. Tidak baik dikait-kaitkan dengan korupsi yang tak lain adalah maling uang negara, merugikan rakyat banyak. Sebaiknya diganti dengan kata korupsi bersama-sama saja.
Sebenarnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jemaah atau bentuk baku dari kata jamaah adalah berarti kumpulan atau rombongan orang beribadah, baik shalat atau haji. Juga memiliki arti orang banyak atau publik. Jadi, secara etimologi bahasa, menggunaan kata jamaah kepada korupsi tidak salah, mungkin karena etika atau agama saja.
Yang jelas, keberadaan DPRD atau DPR RI ternyata tidaklah sekuat yang dipikirikan. Mereka begitu mudah terpeleset oleh hal-hal yang sepele, semacam kebersamaan menandatangani APBD, atau menerima uang entah berantah dari seseorang yang punya itikad buruk. Mereka juga begitu mudah terkena target operasi (TO) oleh berbagai lembaga, baik KPK, Polri dan Kejaksaan.
Korupsi berjamaah itu sejatinya tidak perlu terjadi, andai partai politik yang mengusung mereka ke lembaga itu benar-benar selektif dalam mengajukan calon. Bukan asal-asalan untuk menggaet simpati dan suara rakyat semata. Perlu pengkaderan khusus atau seleksi khusus untuk menempatkan orang-orang terbaik baik di DPR ataupun DPRD. Kalau tidak, tentu akan menambah buruk citra wakil rakyat di negara +62 ini.
Partai politik, setidaknya harus menetapkan syarat calon anggota dewan harus paham soal tugas dan fungsinya Fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi berarti DPR mewakili isi hati rakyat dengan menghadirkan aturan-aturan yang baik dan berpihak pada rakyat. Fungsi pengawasan dengan dapat memantau pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang berkaitan yang dikeluarkan. Jangan hanya menerima apa adanya saja, asal apa yang diminta dalam bentuk pokir (pokok pikiran), PKBL, dan lainnya disetujui. Yang paling penting, paham soal anggaran, agar tidak lagi terkena kasus-kasus korupsi berjamaah ini.
Sayang, seleksi yang diterapkan oleh parpol itu tidak akan pernah berjalan dengan baik. Karena, jumlah perolehan suara yang disarikan menjadi kursi DPR/DPRD lebih diutamakan. Biarlah yang dimajukan orang-orang tak berpendidikan, tak punya visi dan misi, asal bisa mendapatkan satu kursi sendiri. Apalagi juga mau berbagi dana dengan partai politik sebagai “modal” pencalegan.
Partai politik dalam beberapa Undang Undang Pemilu memiliiki tujuan meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, memperjuangkan cita-cita Parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan membangun etika dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Sebagai sarana pendidikan politik, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat, partisipasi politik dan rekrutmen politik.
Terlalu berat memang tugas partai politik demi harus menghindari korupsi berjamaah ini. Mereka tentu tidak mau, sibuk mencari orang-orang hebat bermoral yang bisa terhindar dari bahaya laten koupsi, tapi tidak mendapatkan kursi yang ideal. Karena kursi itu adalah kekuasaan yang bisa berujung pada Pilkada, kalau 2024, hasil Pilegnya akan dipakai pada Pilkada November 2024.
Namun, tanpa kita harus membenani parpol terus menerus. Karena sekarang sedang sibuk dalam urusan siap calon Presiden yang akan diusung, sebaiknya para pengurus partai di daerah yang mulai oret-oret. Pastikan yang mendaftar ini adalah orang yang paham dengan tugas-tugas kedewanan, bukan malah hanya mencari kerja. Karena Pileg tak ubahnya seperti pembukaan lowongan kerja besar-besaran, dari tingkat pusat sampai ke daerah.
Penyanyi legenda Iwan Fals dalam lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” menulis “Untukmu yang duduk sambil diskusi, Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR, Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam.” Tentu, untuk menjadi wakil rakyat yang ideal ini, diperlukan orang-orang hebat. Bukan asal saja. Agar tak lagi terjerumus dalam korupsi berjamaah. (Wartawan Utama)
Komentar