Oleh: Reviandi
Kita tidak sedang bicara Pemilihan Presiden (Pilpres). Benar, bukan soal nomor urut 1, 2 dan 3. Ini soal calon anggota legislatif (Caleg) yang jumlahnya begitu banyak. Partai politik saja 18, dikalikan kursi yang akan terisi. Tak sampai sebulan lagi, tapi tak semuanya optimis dapat kursi.
Sejumlah Caleg sudah mulai menyerah meski Pemilu belum tuntas. Mereka yang awalnya merasa raja, kini tertatih-tatih. Harus menerima kenyataan, tak ada harapan menjadi anggota dewan. Karena hasil survei sejumlah lembaga mulai beredar dari mulut ke mulut, dari HP ke HP dan lainnya. Tak jelas siapa yang bayar, tapi siapa yang duduk dan tidak sepertinya sudah mulai jelas.
Ada yang tiba-tiba menghentikan saja kampanyenya karena beratnya beban mencari suara. Karena rekomendasi-rekomendasi pakar survei dan politik yang ternyata membuat mereka pusing. Ada yang harus mencari ribuan sampai puluhan ribu suara untuk satu kursi. Kalau tidak, ya tidak akan dapat suara. Jadi, kerja keras harus dilakukan, kalau tidak ya zonk.
Sejumlah alat peraga semacam billboard dan baliho-baliho juga mulai dibuka. Padahal dua bulan lalu para bos advertising begitu panen raya. Caleg-Caleg yang mulai menyerah ini memang orang-orang yang sangat percaya dengan survei. Ada yang membiayai sendiri survei itu dengan sejumlah lembaga. Sekaligus menjadikan para pemain survei sebagai konsultan politik.
Hasil-hasil survei yang dilihat, meski dibayar sendiri dengan uang dari kantong, tetap bikin bengek. Ada yang membuat semangat mereka meledak-ledak, ada yang terduduk saja. Tak ada bayangan lagi kalau akan duduk sebagai anggota DPRD. Dana yang sudah dikeluarkan tak tahu mau ditarik dari mana. Investasi, tabungan dan aset telah digadaikan atau dijual pula.
Tapi, siapa yang akan disalahkan. Tak ada yang meminta maju. Semua karena bayangan semu menjadi pejabat negara. Menjadi orang-orang istimewa yang mendapat banyak privilege atau hak-hak istimewa. Ternyata kenyataan tak sesuai harapan. Semua seperti berbeda, karena jalan terjal berliku yang tak seindah kenyataan.
Bagi para Caleg DPR RI, hal yang menakutkan adalah, punya suara maksimal, tapi partai tak lolos. Karena parliamentary threshold (PT) yang diberlakukan pada pemilu 2019, dan tercantum dalam Pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017. Ditetapkan, sebuah parpol harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 4 persen dari jumlah suara nasional untuk bisa memperoleh kursi di DPR.
Aturan itu berlaku secara nasional sehingga partai yang lolos ambang batas parlemen nasional secara otomatis lolos masuk parlemen daerah. Sedangkan partai yang tidak lolos ambang batas parlemen nasional, tidak lolos untuk DPRD kabupaten/kota. Kalau satu partai tak sampai 4 persen, maka suara akan hangus dan tak masuk ke Senayan.