Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno bersama Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sumbar, Yosmeri panen kerapu sekaligus melepas ekspor ikan ini ke Hongkong, Jumat (27/11) di Kawasan Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel).
Hadir saat panen, TNI Angkatan Laut dan rombongan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Irwan Prayitno mengungkapkan, melalui panen tersebut, kali pertama ekspor kerapu selama masa pandemi Covid-19.
“Di awal pandemi Covid-19, ekspor belum bisa dilakukan, karena negara tujuan ekspor menutup diri. Kami mendukung budi daya dan ekspor kerapu oleh nelayan yang bekerja sama dengan pengusaha. Karena memberikan manfaat ekonomi bagi nelayan,” ungkap Irwan Prayitno.
Kebutuhan kerapu di negara tujuan ekspor masih tinggi. Karena itu, pengusaha, menurut Irwan Prayitno, perlu memperbanyak nelayan yang bersedia budi daya ikan ini. Sehingga, terjalin kerja sama saling menguntungkan dan berdampak terangkatnya ekonomi nelayan.
Budi daya ikan kerapu dilakukan di laut. Caranya menggunakan keramba. Nelayan memberikan pakan untuk kerapu, dan dibesarkan hingga ukuran tertentu yang disyaratkan agar bisa diekspor. Setelah tercapai total 15 ton syarat minimal, maka kerapu dikirim ke negara tujuan. Kali ini, pengiriman kerapu bersumber dari budi daya oleh nelayan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Painan dan Mandeh Kabupaten Pessel.
Ikan kerapu makanan favorit di negara tujuan ekspor seperti Hongkong dan Cina. Yang membuat harganya mahal untuk dijual dan layak diekspor, karena ikan ini memiliki khasiat tertentu. “Dengan harga yang mahal, memberikan keuntungan bagi nelayan dan juga eksportir. Selain itu, negara pun menerima pemasukan berupa pajak ekspor,” terangnya.
Budi daya ikan kerapu butuh modal dan sarana prasarana. Meski demikian, biayanya bisa tertutupi dengan harga jual yang bagus. Demikian juga pengusaha yang mengekspor. Seluruh biaya operasional bisa tertutupi dari penjualan ke negara tujuan.
Budi daya kerapu belum lama dikenal oleh nelayan. Berbeda dengan kebiasaan harian nelayan yang mencari ikan dengan pergi ke laut dan menangkap ikan. “Ikan yang ditangkap sudah ada, tidak perlu dibudidayakan seperti kerapu. Jika cuaca bagus, maka ikan bisa ditangkap. Jika tidak bagus, nelayan tidak bisa melaut. Uang diperoleh hanya ketika bisa melaut. Jika tidak melaut tidak dapat uang. Jika cuaca tidak bagus seminggu, maka seminggu tidak dapat uang,” ungkap Irwan Prayitno.
Berbeda dengan budi daya kerapu yang butuh waktu berbulan-bulan membesarkannya, hingga layak untuk dijual dan menghasilkan uang. “Dalam budi dayanya, nelayan juga mendapatkan ilmu cara melakukan budi daya kerapu yang baik,” terangnya.
Dengan budi daya kerapu, nelayan juga mengalami perubahan karakter. Karena selama budi daya beberapa bulan, nelayan tidak dapat penghasilan. Mereka perlu menabung setelah memperoleh penghasilan dari menjual kerapu. Karena setelah kerapu dijual, mereka kembali melewati waktu beberapa bulan untuk budi daya. “Perubahan karakter ini menjadi keniscayaan, agar mereka nanti bisa menyiapkan dana untuk berbagai keperluan. Seperti, keperluan pendidikan anak dan lainnya,” ungkap Irwan Prayitno.
Selain budi daya kerapu, kegiatan penangkapan ikan yang sudah sejak lama dilakukan nelayan, juga masih bisa dikerjakan setiap hari. Sehingga, nelayan jadi memiliki dua kegiatan. Yaitu budi daya kerapu dan menangkap ikan di laut. “Ada yang membutuhkan waktu agar bisa mendapatkan uang, ada juga yang tidak perlu waktu lama sudah bisa mendapatkan uang. Keduanya bisa saling melengkapi,” terangnya.
Irwan Prayitno juga mengungkapkan, ada perbedaan antara budidaya menggunakan keramba di laut dengan di danau. Makanan ikan di danau yang menumpuk, jadi sedimen yang mengandung racun akibat gelombang di danau bisa bergerak ke atas. Racun menyebabkan matinya ikan di keramba. Di samping itu air di danau cenderung tenang, tidak bergerak, sehingga menyebabkan kematian ikan akibat pencemaran.
Berbeda dengan keramba di laut. Airnya terus bergerak, sehingga tidak ada ikan yang tercemar. Jika dikaitkan dengan masalah lingkungan, keramba di danau menyebabkan pencemaran yang berasal dari pakan. Demikian juga dengan keramba di laut, perlu diatur, agar tidak mengganggu lingkungan. Namun, keramba di laut jauh berbeda dengan keramba di danau terkait penanganan masalah lingkungan.
“Dengan berhasilnya melakukan ekspor kerapu di masa pandemi Covid-19, juga mengajarkan, jangan menyerah kepada keadaan. Tetap harus berusaha, berpikir, melakukan terobosan, agar tetap bisa produktif dan berpenghasilan,” terangnya.
Pada kesempatan panen itu, Irwan Prayitno juga menyampaikan keluhan nelayan kepada pengusaha kerapu. Di mana, banyak nelayan tidak punya modal untuk membeli pakan, sehingga tidak bisa budi daya. Padahal mereka antusias ingin budi daya kerapu.
“Nelayan seperti ini bisa diajak bekerja sama dengan diberikan modal, pakan dan diajari budi daya. Kemudian nelayan ini menjual kerapu kepada pengusaha dan mendapatkan keuntungan. Pengusaha melakukan ekspor, juga mendapat keuntungan,” terang Irwan Prayitno.
Budi daya kerapu wujud pemanfaatan potensi laut yang selama ini belum maksimal. “Semoga budi daya ikan kerapu di Sumbar bisa memberikan dampak positif kepada nelayan. Sehingga kehidupannya bisa lebih baik. Dengan adanya ekspor ikan kerapu juga bisa memberikan pemasukan kepada negara berupa pajak ekspor,” harapnya.
Kepala DKP Provinsi Sumbar, Yosmeri mengatakan, dengan adanya pengumpul, maka ikan kerapu hasil budidaya bisa diekspor ke Hongkong. Sebab, hasil budidaya nelayan dikumpulkan oleh pengusaha dari Kota Padang, Kabupaten Pessel dan Kepulauan Mentawai,” terangnya.(**)