Oleh: Reviandi
Sebuah kabar kurang mengenakkan muncul dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Kamis (21/9/202) lalu. Bawaslu merilis, Sumatra Barat (Sumbar) termasuk dalam 10 provinsi di Indonesia terindikasi memiliki aparatur sipil negara (ASN) yang bermasalah dalam netralitas saat menghadapi Pemilu.
Dalam rilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) dengan isu strategis netralitas ASN itu, Sumbar tergabung dengan Lampung, Banten, Jawa Barat (Jabar), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur (Kaltim), Sulawesi Selatan (Sulsel), Gorontalo dan Sulawesi Utara (Sulut).
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat (Humas) Bawaslu RI, Lolly Suhenty mengatakan, IKP menjadi instrumen proyeksi dan deteksi dini sebagai bentuk upaya pencegahan melekat. Kalau sudah tahu rawannya di mana, maka formula mencegahnya juga harus ada.
Dari hasil pemetaan Bawaslu RI, terdapat pola tersendiri ketidaknetralan ASN dalam menghadapi musim Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.Seperti, katanya, ASN memberikan dukungan dan promosi terbuka kepada kandidat tertentu via media sosial (medsos) dan platform lainnya.
Kemudian, ASN diam-diam bergabung ke dalam grup berbalas pesan WhatsApp yang terafiliasi atau terindikasi memberikan dukungan terhadap calon tertentu, baik Pemilu ataupun Pilkada. Ada jugapenggunaan fasilitas negara yang digunakan untuk mendukung petahana serta adanya ASN yang secara aktif maupun pasif terlibat dalam kampanye.
Bahkan, sejumlah ASN rela dan nekat berbuat seperti itu demi mendapatkan atau mempertahankan suatu jabatan tertentu. Tujuannya lainnya adalah hubungan primordial, kekeluargaan, emosial antara oknum ASN dan kandidat. Faktor lainnya ketidakpahaman terhadap regulasi tentang kewajiban ASN menjaga netralitas. Faktor lainnya pula, karena adanya tekanan sanksi yang tidak membuat jera pelaku.
Lalu, apakah benar ada ASN dari Pemprov Sumbar atau 19 Kabupaten dan Kota yang demikian? Saat ini, Pemprov Sumbar dipimpin dua orang politisi, Gubernur Mahyeldi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Wakil Gubernur Audy Joinaldy dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Begitu juga di Kabupaten Kota yang dipimpin kepala daerah dari partai, kecuali PJ kepala daerah di Metawai, Sawahlunto dan Payakumbuh. Pastinya, jika tak ingin netral, para ASN, baik PNS atau honorer dan sejenisnya, harus memilih yang paling menguntungkan mereka.
Saat ini, Mahyeldi juga tercatat sebagai ketua DPW PKS Sumbar sementara Audy salah satu ketua DPP PPP (pusat). Memang secara kasat mata, belum terlihat bagaimana keberpihakan ASN kepada dua ‘induak samang’ mereka itu. Meskipun banyak ungkapan yang menyebut, ASN sebagai ‘anak’ dari kepala daerah yang sedang menjabat.
Ada bahasa yang lebih vulgar, ‘siapa laki amak awak, itu apak awak.’ Artinya, siapa suami dari ibu kita, maka itu adalah bapak kita. Sebagian ASN menterjemahkan hal ini dengan akan siap membantu apa saja kebutuhan dan urusan dari ‘bapak’ mereka. Ibaratnya, Pemda adalah ibu mereka dan kepala daerah adalah bapaknya.
Dalam catatan politik demokrasi Sumbar, cukup banyak ASN yang dipersoalkan, dilaporkan dan disanksi karena dugaan tidak netral. Saat Pilkada 2018, ada dua ASN yang disanksi karena diduga terlibat dalam politik praktis mendukung salah satu calon kepala daerah. Mereka bekerja di Kota Pariaman dan mendapatkan sanksi sedang dan ringan.