SOLOK, METRO–Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasioanal (BKKBN) perwakilan Sumatera Barat menggelar Sosialisasi Advokasi serta Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) penanganan stunting bersama Mitra Kerja di Kecamatan Junjung Sirih, Kabupaten Solok, Sabtu (4/6). Sosialisasi guna percepatan penanganan stunting tersebut dilaksanakan bersama mitra kerja BKKBN yaitu komisi IX DPR RI. Hadir dalam kegiatan tersebut anggota komisi IX DPR RI, Darul Siska, Sekretaris utama BKKBN pusat, Tavip Agus Rayanto, Kepala Perwakilan BKKBN Sumbar, Fatmawati serta anggota DPRD Kabupaten Solok Fifi Yulistia Rahayu.
Mewakili tuan rumah, anggota DPRD Kabupaten Solok Fifi Yulistia Rahayu menyampaikan pentingnya sosialisasi penanganan stunting di Kabupaten Solok ini mengingat Kabupaten Solok merupakan Kabupaten/kota di Sumbar yang angkanya mencapai 40 persen dan dinyatakan paling tinggi di Sumbar. “Jadi wajar kita mengadakan sosisalisasi ini agar bisa menjadi pencerahan dan merubah pola pikir masyarakat kita dalam upaya pencegahan stunting karena ini menyangkut masa depan anak-anak kita,”ujar Fifi.
Fifi menegaskan, agar masyarakat Kabupaten Solok tidak marah apabila disinggung anak-anaknya yang terkena stunting, namun nyatanya tidak mau mengikuti imunisasi. Untuk itu ia berharap agar masyarakat mendengarkan penyuluhan agar nantinya bisa di praktekkan apa yang disampaikan oleh narasumber. “Terimakasih kepada BKKBN Sumbar yang telah memfasilitasi dan memberikan perhatian penuh dalam penanganan stunting di Kabupaten Solok. Juga kepada bapak Darul Siska yang telah memberikan perhatian serius terhadap penanganan stunting di Kabupaten Solok ini,”ungkapnya.
Pada kesempatan itu, Kepala Perwakilan BKKBN Sumbar Fatmawati menyampaikan bahwa saat ini BKKBN Sumbar tengah berupaya menekan angka stunting yang ada di setiap daerah di Sumbar. BKKBN Sumbar bekerjasama dengan seluruh pihak terkait terus melakukan sosialisasi serta pendampingan terhadap masyarakat. “Kita laksanakan sosialisasi ini agar ada perubahan perilaku terhadap masyarakat. Saat ini ibu-ibu cenderung datang ke posyandu membawa anaknya hanya sampai usia 9 bulan setelah dirasa imunisasinya sudah cukup, padahal usia 9 bulan itu masih dalam 1000 hari pertama kehidupan yang masih butuh pantauan dan edukasi soal pola asuh, gizi seimbang dan cara berinteraksi. Ini yang masih banyak terjadi di tengah masyarakat,” tuturnya.
Ia menyebut, selain sosialisasi, juga dilakukan intervensi potensi keluarga beresiko stunting berdasarkan pendataan keluarga. “Kita juga punya tim pendampingan keluarga yang akan mendampingi mulai dari calon pengantin, masa kehamilan hingga melahirkan anak sampai usia 5 tahun, tujuannya agar tidak lagi lahir anak-anak beresiko stunting,” tambahnya.
Selanjutnya, upaya lainnya adalah dengan memberikan bantuan terhadap Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), memetakan keluarga yang tidak memiliki sanitasi yang bagus, tidak memiliki jamban, tidak memiliki sumber air yang layak dan keluarga yang tidak memiliki penghasilan. “Ini semua kita petakan dengan melakukan pendekatan pentahelix melalui Focus Group Discussion (FGD) di Kabupaten Kota, nantinya kita berharap pihak-pihak terkait bisa terjun langsung ke lapangan untuk melakukan pembenahan terhadap keluarga yang terindikasi berpotensi stunting,” katanya.
Sementara, untuk hasil dari upaya yang tengah dilakukan, Fatmawati menjelaskan bahwa saat ini perkembangannya belum bisa dipaparkan karena masih menunggu Studi Status Gizi Indonesia (SSGI). “Target 14 persen sudah diamanahkan oleh presiden, kita belum bisa melihat perkembangannya saat ini karena kita masih menunggu Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yang akan dilakukan pada Desember 2022, nanti hasilnya bisa kita peroleh di tahun 2023,” katanya.
Terpisah, Sekretaris utama BKKBN pusat, Tavip Agus Rayanto menyatakan, angka stunting di Indonesia itu masih di angka 27 persen. Sementara itu, sesuai arahan presiden yang menginginkan di tahun 2024 angka tersebut turun menjadi 14 persen. Namun dirinya melihat angka penurunan berkisar 0,3 persen pertahun. Dengan angka tersebut ia mengungkapkan bahwasanya untuk waktu yang tinggal 2,5 tahun ini tidak akan terkejar. Namun dengan upaya dari hulu hingga ke hilir, dirinya yakin target menurunkan 13 persen di tahun 2024 bisa tercapai. “Oleh karena itu, hulu hilirnya itu dimulai dari prekonsepsi yaitu dimulai sebelum orang menikah, bahkan jika mau lebih jauh lagi yaitu semenjak remaja, namun di sisa waktu 2 tahun ini hal tersebut tidak terlalu berefek sehingga yang kita ambil adalah orang yang akan menikah, ”katanya.
Menurutnya, seperti yang diketahui, orang yang akan menikah tersebut harus mendaftar di Kementrian Agama melalui aplikasi. Jadi aplikasi tersebut menjadi alat monitoring dan mengetahui kesehatan calon pengantin. “Dalam teorinya, 80 persen orang menikah tersebut langsung hamil, sehingga monitoring tersebut perlu dilakukan agar anak yang lahir nantinya terhindar dari stunting, ”pungkasnya. Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska juga menyampaikan bahwa selain berkoordinasi dan bekerjasama, juga butuh kesadaran dari masyarakat dalam upaya penanganan stunting. “Kita mesti belajar dari banyak negara maju, mereka maju bukan karena sumber daya alamnya saja tapi karena sumber daya manusia juga. Kualitas sumber daya manusia ini yang harus kita jaga mulai dari dini,” katanya. Ia mengimbau kepada seluruh masyarakat agar mencukupi segala aspek sebelum menikah, seperti mental, pendidikan yang matang, pengetahuan tentang berumah tangga, agar nantinya bisa melahirkan dan merawat anak dengan baik sehingga terhindar dari resiko stunting. “Untuk itu butuh multisektor, butuh peranan-peranan berbagai pihak seperti pemerintah, pemangku adat, masyarakat dan lainnya, karena semua sektor memiliki tugas masing-masing dalam hal ini,” tutupnya. (rom)