Moderasi beragama sudah menjadi program prioritas nasional, mandatori presiden RI Joko Widodo kepada Menteri Agama. Moderasi Beragama diyakini sebagai salah satu modal sosial penting dalam menunjang pembangunan nasional berkelanjutan.
Moderasi Beragama telah ditetapkan secara sah sebagai faktor penunjang pembangunan nasional dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Kementerian Agama diberi mandat sebagai institusi utama (leading sector) dalam membangun kehidupan keagamaan moderat bangsa Indonesia.
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, pelatihan penguatan moderasi beragama bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kementerian AgamaRI menjadi sangat signifikan dilakukan. Pelatihan itu untuk memastikan ASN memiliki pemahaman dan praktik beragama yang moderat.
Tak terkecuali di Sumatra Barat, Kantor Wilayah Kementerian Agama terus melakukan penguatan moderasi beragama bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), tokoh agama dan tokoh masyarakat. Baik melalui orientasi, workshop dan webinar-webinar.
Saat ini sedang berlangsung orientasi penguatan moderasi beragama bagi Aparatur Sipil Negara tingkat pelopor bagi pejabat Eselon IV se Sumatra Barat ditambah dengan JFT dan JFU dilingkungan Kanwil Kemenag Sumbar di Hotel Emersia, Batusangkar.
Kegiatan yang dilaksanakan selama 4 (empat) hari ini berlangsung sejak tanggal 23 November sampai 26 November 2021 ini melibatkan peserta sebanyak 120 ASN yang terbagi dalam dua Angkatan.
Kasubbag Ortala dan KUB Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatra Barat, Fauqa Nuri Ichsan menyampaikan Tujuan Umum dari kegiatan orientasi atau pelatihan moderasi beragama ini untuk meningkatkan kesadaran, sikap, dan kapasitas peserta yang menumbuhkan gerakan Moderasi Beragama di lingkungan kerja Kementerian Agama.
Tujuan Khusus Orientasi Penguatan Moderasi Beragama: 1) Peserta memiliki sikap diri yang inklusif, egaliter, humanis, profesional, dan nondiskriminatif. 2) Peserta memiliki wawasan keagaman yang moderat, toleran, nonkekerasan, dan ramah dengan tradisi; 3) Peserta memahami konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia dan urgensi Penguatan Moderasi Beragama; 4) Peserta memahami konsep dan kerangka kerja Moderasi Beragama Kementerian Agama RI; 5) Peserta memahami kerangka kerja (framework) Kapasitas ASN Kemenag dalam Penguatan Moderasi Beragama; 6) Peserta dapat menginisasi gerakan Penguatan Moderasi Beragama di lingkungan kerja dan ruang lingkup wilayahnya.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatra Barat, H. Helmi mengatakan melalui penguatan moderasi beragama nantinya semua ASN Kementerian Agama diharapkan menjadi rol model atau teladan moderasi beragama, ungkapnya disela-sela kegiatan
Kakanwil menyebutkan moderasi beragama yang dicetuskan tahun 2019 oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin sebagai respon terhadap ekstremisme dan radikalisme yang terjadi beberapa tahun belakangan maka inilah salah satu latar belakang perlunya penguatan moderasi beragama.
Latar belakang lainnya disebutkan Kakanwil adalah karena maraknya klaim kebenaran sepihak dengan menyalahkan kelompok lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Sikap intoleransi sampai main hakim sendiri dan semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dan bernegara.
Pada kesempatan itu juga Doktor Helmi juga memaparkan kepada jajarannya tentang indikator moderasi beragama yang wajib dimiliki setiap ASN Kementerian Agama. Seseorang dikatakan moderat jika melaksanakan empat indikator tersebut.
“Indikator Moderat yang pertama adalah memiliki komitmen kebangsaan, kedua toleransi, ketiga anti kekerasan dan keempat menghargai budaya dan tradisi lokal”, jelas H Helmi.
Dikatakan mantan Kakan Kemenag Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Solok ini, pelatihan Penguatan Moderasi Beragama ini ditujukan untuk seluruh ASN di lingkungan Kementerian Agama. Secara umum, sasaran pelatihan ini dikelompokkan menjadi 5 (lima) kluster berdasarkan kelindan materi yang harus diberikan.
1) Pejabat pimpinan tinggi pratama, madya, ketua, dan rektor perguruan tinggi keagamaan; 2) Pejabat administrator dan pengawas; 3) Tenaga pendidik dan kependidikan (guru, dosen, pengawas, dan kepala madrasah); 4) Tenaga keagamaan (penghulu, penyuluh agama, pengawas dan penyelia halal, penyelenggara haji, zakat, wakaf, dan urusan agama); 5) Tenaga administrasi (perencana, analis kebijakan, analis kepegawaian, analis keuangan, pranata komputer, pelaksana, dll).
Diakui Kakanwil, dewasa ini kita sedang menghadapi situasi kehidupan sosial keagamaan yang memiliki daya destruksi terhadap kebinekaan bangsa. Setidaknya, ada tiga tantangan kehidupan keagamaan yang dihadapi saat ini.
Tantangan pertama berkaitan dengan menguatnya pandangan, sikap, dan perilaku keagamaan eksklusif yang bersemangat menolak perbedaan dan menyingkirkan kelompok lain. Cara beragama ini tidak hanya mempertanyakan keabsahan Indonesia sebagai rumah bersama bagi kelompok-kelompok yang berbeda, tetapi juga berusaha membangun ulang Indonesia menjadi sebuah negara eksklusif yang hanya dimiliki kelompok tertentu.
Tantangan kedua berkaitan dengan tingginya angka kekerasan bermotif agama. Pandangan, sikap, dan cara beragama yang eksklusif pada akhirnya melahirkan berbagai praktik intoleransi dan kekerasan keagamaan yang menghancurkan dan mematikan.4 Setidaknya, sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, berbagai konflik sosial keagamaan muncul di berbagai wilayah seperti yang terjadi di Poso dan Ambon
Tantangan ketiga, yaitu berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI. Atas nama agama, Pancasila mulai digugat dan dipertanyakan. Indonesia dianggap sebagai berhala. Hormat bendera merah putih diyakini mencederai iman. Di sinilah, kita menemukan ideologi khilafah dijajakan sebagai alternatif pengganti NKRI. (*)