Lanjutan Sidang Kasus Dugaan Korupsi Lahan Tol Padang-Pekanbaru, Saksi Ahli: UU Omnibus Law dan Turunannya Lindungi Aparat Pertanahan dari Jeratan Pidana

PADANG, METRO–Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi ganti rugi lahan tol Padang-Pekanbaru, Taman Kehati Padangpariaman, yang mana me­nyeret 13 orang terdakwa, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Kelas IA Padang,  Kamis (21/7). Sidang dike­tuai oleh Majelis Hakim Rinaldi Triandiko yang beranggotakan Dadi Suryadi dan Hendri Joni.

Pada sidang agenda saksi, kuasa hukum 13  terdakwa t menghadirkan beberapa orang saksi ahli yaitu pertama Prof Dr Hj Yulia Mirwati yang merupakan Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Unand, Kedua M Noor Marzuki, Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/KBPN 2016- 2018.

Kemudian Dr Eva Achjani Zulfa, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  Tri Wibisono, Direktur Pengukuran dan Pemetaan Kadastral Kementerian ATR/KBPN Geodesi, Suswinarno, Ak, M.M. BPK (1987-2018) yang sekarang Auditor Independen. Kintot Eko Baskoro dan Erfan Susanto, (Auditor) Inspektorat Jenderal Kementerian ATR/KBPN.

Saksi Ahli M Noor Marzuki dalam keterangannya di pengadilan mengatakan, sesuai UU Omnibus Law atau Cipta Kerja Tahun 2021 yang dikeluarkan Presiden Republik Indonesia beserta turunannya mengatur tentang perlindungan aparat pertanahan.

Di sana disebutkan bah­wa, apabila ada indikasi tindak pidana korupsi dan penyimpangan wewenang yang dilakukan oleh aparat pertanahan, maka harus mendahulukan asas administrasi. Asas pidana merupakan pintu terakhir jika Lembaga APIP telah melakukan penilaian-penilaian dan tidak ada itikad mengembalikan ke­rugian keuangan negara. Penilaian ini diserahkan ke aparat penegak hukum.

“Yang pasti kalau ditemukan masalah, asas administrasi didahulukan. Kalau ada aparat melakukan indikasi tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara, maka segera di kembalikan kerugian tersebut sebelum APIP melakukan penilaian, dan menyerahkannyanke aparat penegak hukum,” ucapnya.

Berlakunya aturan ini sebut Noor Marzuki, untuk melindungi aparat pertanahan dalam menjalankan tugas dari Presiden, guna mensukseskan Program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) sesuai Inpres No 2 tahun 2018.

“Kementerian ATR/BPN memiliki tugas berat dari Presiden menjalankan Program PTSL, karena ha­rus menerbitkan sertifikat tanah dengan cepat. Bayangkan dalam satu bulan, BPN harus menerbitkan 1000 sertifikat, sehingga prinsip kehati hatian dalam menetapkan kepemilikan tanah sedikit. Sehingga aparat pertanahan perlu dilindungi dalam menjalankan tugas. Maka lahirlah aturan ini dalam UU Omnibus Law dan turunannya,” terang pria yang pernah menjabat Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang 2016-2018 itu.

Lebih lanjut ia menerangkan, dalam UU no 2 tahun 2012, ada empat ta­hapan dalam melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Keempatnya adalah perenca­naan, persiapan , pelaksanaan dan penyerahan hasil. Keempat tahapan itu tidak bisa dipisahkan dan jelas pihak-pihak yang bertanggung jawab, waktu pelaksanaan maupun output yang dihasilkan.

Dirinya menjabarkan, untuk tahapan perencanaan merupakan tanggung jawab instansi yang membutuhkan. Dalam tahap ini, outputnya dokumen perencanaan yang berisi gambaran umum siapa pemilik tanah, kajian studi kelayakan, amdal, studi tata ruang dan studi ekonominya.

Dalam tahap persiapan, penanggung jawab adalah Gubernur sebagai Ketua Panitia Persiapan Pengadaan Tanah. Outputnya adalah dikeluarkan penetapan lokasi (penlok). Penlok ini diumumkan 14 hari ke publik. Kalau ada keberatan dari berbagai pihak, maka dibuat kajian oleh Tim Sekda provinsi. Gubernur membuat data awal berdasarkan dari data perencanaan. Guna memperkuat data perencanaanya, Gubernur membuat konsultatif publik 30 hari untuk kesepakatan. Sahnya penlok ini berdasarkan kesepakatan antara pemilik tanah yang diputuskan oleh pengadilan.

Lanjut dipaparkan Noor Marzuki, setelah tahapan perencanaan dan persiapan selesai, barulah masuk ke tahap pelaksanaan. Di tahap pelaksanaan itu, outputnya adalah penetapan lokasi melampirkan peta bidang dan data awal pemilik tanah, batas letak dan luas tanah.

Di tahap pelaksanaan ini, BPN membentuk Satgas A dan Satgas B dengan tugas masing-masing. Dimana Satgas A bertugas mela­kukan pengukuran batas luas dan letak, mengecek pemilik tanah akan masuk daftar inventarisasi. Sementara Satgas B bertugas membuat daftar nominatif (danom). Danom ini juga harus diumumkan ke publik selama 14 hari. Di masa itulah, para pihak diberikan kesempatan untuk berbantah-bantahan.

Satgas A dan B kemudian melaporkan ke Ketua P2T (Panitia Pembebasan Tanah) Kepala Kanwil BPN. Apabila ada permasalahan, Kepala Kanwil BPN yang mempunyai otonomi dan pengetahuan untuk menyelesaikan. Alasannya Satgas A dan B tak punya pengetahuan dan otonomi  untuk menyelesaikan.

“Setelah para pihak berbantah-bantahan. Maka BPN memilih mana yang diklarifikasi dan mana yang tidak. BPN menentukan apakah layak dipertimbangkan bantahan dari pa­ra pihak ataupun mana yang diabaikan, karena BPN punya kewenangan. Setelah peta inventarisasi dan danom selesai. Maka dinilai oleh tim apraisal yang ditunjuk UU dengan berbagai variabel besarnya ganti rugi tanah,” tukasnya.

Sementara saksi ahli lainnya, Dr Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan  Delik penyertaan dalam pasal 55 KUHP harus dibuktikan meeting of mind semua pelaku. Kata Achjani artinya, harus dibuktikan adanya bentuk pemufakatan jahat semua pelaku sehingga tindak pidana terjadi.

“Kemudian ahli menerangkan upaya pidana merupakan langkah terakhir jika upaya hukum lain tidak mampu lagi menyelsaikan masalah yang ada sebagaimana asas ultimum remedium, artinya jika permaslahan hukum bisa diselesaikan dengan upaya hukum lain seperti upaya administrasi atau perdata, maka tidak perlu upaya pidana,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan kemudian terkait prejudicial geschil dalam pasal 51 KUHP. “Jika terdapat hal hal lain yg menjadi pertentangan dalam suatu masalah yang merupakan ranah hukum lain, seperti ada sengketa perdata, atau masalah administrasi yang harus diselesaikan terlebih dahulu, hukum pidana harus menunggu uapay hukum tersebut selesai dulu.” sebutnya.

Kemudian, keterangan Ahli Tri Wibisono mantan auditor BPK, menerangkan bahwa pencatatan aset dilakukan pada saat bukti kepemilikannya sudah ada, barang, sudah dikuasai, pembayaran sudah dilaksanakan, ahli mencontohkan pencatatan aset suatu kendaraan bermotor, baru dapat dicatatkan dalam catatan aset. “Contohnya  ketika BPKB kendaraan sudah diterima, kendaraannya diterima, uang sudah dibayarkan, ada nilai yg bisa dicatatkan,” terangnya.

Terpisah, di luar persidangan  kuasa Hukum terdakwa J dan R yakni Dr Suharizal, SH, MH menyebutkan bahwa, keempat ahli ini mengkonfirmasi bahwa tidak ada korupsinya dalam pengadaan tanah untuk jalan tol Padang Pekanbaru ini.

“Bila prosedural adminitrasi telah dilalui dalam pengadaan jalan tol ini, tentu mustahil ada korupsinya,” ungkapnya.

Sebelumnya, saksi saksi penting juga dihadirkan di pengadilan. Seperti Mantan Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni, Bupati Padang Pariaman Suhatri Bur, Kepala Kanwil BPN Sumbar Syaiful, PPK Pembebasan Lahan Tol Kementerian PUPR Siska Martha Sari.

Perjalanan sidang diawasi oleh Komisi Yudisial yang merupakan lembaga negara yang mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (hen)

Exit mobile version