Prabowo, Calon Presiden Pilihan Milenial, Pengamat: Dianggap Tidak Tebar Pesona

PRABOWO— Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang bakal maju sebagai capres dari Partai Gerinda di Pemilu 2024.

JAKARTA, METRO–Prabowo Subianto terus men­jadi perbincangan hangat dan di­gadang-gadang akan meleng­gang menjadi Presiden 2024-2029 menggantikan Joko Widodo (Jo­kowi). Hal itu semakin terlihat saat Lembaga Survei Jakarta (LSJ) merilis hasil survei digital natives (masyarakat melek internet) terkait elek­tabilitas calon presiden di Pemilu 2024. Hasilnya, Ke­tua Umum Partai Ge­rin­dra itu menjadi capres de­ngan elektabilitas tertinggi.

Peneliti senior dari LSJ, Fetra Ardianto menyebut, survei LSJ ini dilakukan pada 15-28 April 2022 de­ngan melibatkan 1.225 sam­pel di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Sampel survei yang diambil adalah masyarakat berusia 15-34 tahun yang melek internet (digital natives) atau dika­tegorikan sebagai kaum milenial.

 ”Margin of error survei ini dilaporkan +/- 2,8% de­ngan tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara tatap muka dengan pedoman kue­sio­ner,” kata Fetra.

Dijelaskan Fetra, LSJ menanyakan kepada para responden terkait jika pil­pres diadakan hari ini, siapakah yang akan dipilih. Berdasarkan jawaban para responden, terekam Pra­bowo Subianto memiliki elektabilitas tertinggi de­ngan 24,9%. Selanjutnya, Anies Baswedan mengikuti di bawahnya dengan elek­tabilitas 20,6% serta Ganjar Pranowo dengan elek­tab­ilitas 12,4%.

“Dilanjutkan de­ngan  Sandiaga Uno 10,1%, Rid­wan Kamil 5,7%, Basuki Tja­haja Purnama 5,4% dan lainnya di bawah 5 %,” katanya.

Lebih lanjut, dikatakan Fetra, LSJ merekam ber­dasarkan jawaban terse­but, sebanyak 48,9% kala­ngan milenial atau digital natives belum mantap de­ngan pilihannya jika survei dilaksanakan hari ini, se­mentara 40,7% terekam su­dah mantap dengan pili­hannya. LSJ menjelaskan, hal tersebut wajar lantaran generasi milenial atau digital natives memiliki ka­rakteristik pemilih sehing­ga lebih hati-hati dalam menentukan pilihannya.

Soal tingginya elek­tabilitas Prabowo di mile­nial, Fetra, membuka data lebih jauh. Dia mengatakan Prabowo dianggap relevan dengan kondisi dunia ter­kini. ”Prabowo dianggap so­sok pemimpin yang mam­pu menyelesaikan proble­mati­ka bangsa, me­mahami geo­politik global, dan diyakini sebagai sosok negarawan yang memen­tingkan kepen­tingan ne­gara dan bangsa di atas kepentingan apapun. In­dikator itu yang menjadi dasar generasi digital natives atau millennials men­jatuhkan pilihannya kepa­da Prabowo jika pilpres dilak­sanakan hari ini,” kata Fetra.

Fetra melanjutkan ter­dapat dua faktor yang mem­­buat Prabowo men­jadi pilihan generasi digital natives. Pertama, generasi digital natives adalah ke­lom­pok manusia rasional. Dia mengatakan kalangan milenial memilih Prabowo karena pertimbangan ra­sional, bukan kedekatan emosional. Kedua, masih menurut Fetra, jarangnya Prabowo berpolemik atau memicu polemik di medsos ataupun di panggung politik nasional akhir-akhir justru diapresiasi para netizen yang mayoritas merupa­kan anak-anak digital natives.

“Berdasarkan analisis media monitoring yang dilakukan oleh LSJ, sen­timen negatif warganet dalam dua minggu terakhir terhadap Prabowo Su­bian­to sangat rendah (5%) se­mentara sentimen positif­nya cukup tinggi (37,1%). Ini artinya, apa yang dila­kukan Prabowo dalam dua minggu terakhir dengan melakukan safari Idul Fitri diapresiasi positif oleh war­ganet dan oleh generasi digital natives khususnya. Sebaliknya, pada saat yang sama, sentimen negatif terhadap Ganjar dan Anies cukup tinggi, yakni 18% dan 35,8%,” ujar Fetra.

Survei LSJ kali ini juga merekam rendahnya elek­tabilitas Ganjar Pranowo di kalangan generasi digital natives. Meskipun dalam berbagai rilis lembaga survei elektabilitas Ganjar disebut cukup tinggi, di kalangan digital natives, berdasarkan survei LSJ, ternyata tidak terlalu me­narik. Hanya 12,4% anak-anak digital natives yang mengaku akan memilih Ganjar jika pilpres dilak­sanakan hari ini.

“Ini tentu sebuah feno­m­ena anomali, mengingat Ganjar merupakan salah satu capres yang paling banyak manggung di media sosial yang notabene merupakan panggungnya anak-anak muda,” jelas Fetra.

Generasi digital natives adalah generasi yang lahir berdampingan dengan tek­nologi informasi (generasi di bawah usia 35 tahun). Berdasarkan data BPS 2021, proporsi generasi ini mencapai 43% dari total populasi Indonesia dan sebagian besar dari mere­ka akan menjadi pemilih pemula (first-time voters) dalam Pemilu 2024 nanti. Mereka adalah orang-orang yang sangat aktif ber­se­lancar di internet men­cari berbagai informasi, ter­masuk informasi ten­tang capres. Sebab itu generasi digital natives ini sangat seksi perannya dalam Pe­milu 2024 sehingga menjadi rebutan dan bidikan utama para capres.

Fokus Bekerja

Pengamat politik Arif Nurul Imam menilai ung­gulnya Menteri Pertaha­nan Prabowo Subianto di kalangan generasi milenial sebagai calon Presiden 2024 karena mereka me­nganggap Prabowo fokus dalam bekerja.

“Dari data survei LSJ, generasi milenial berke­simpulan Prabowo fokus bekerja di saat bakal cap­res lain dinilai sibuk tebar pesona sehingga Prabowo dianggap tokoh yang fokus bekerja. Pra­bowo diang­gap tidak tebar pesona,” kata Arif.

Arif menilai tingginya dukungan dari generasi milenial kepada Prabowo Subianto yang me­nga­lah­kan tokoh lain merupakan cerminan dari potret pe­milih saat ini, terutama mereka yang termasuk dalam generasi tersebut. Prabowo, kata dia, diang­gap generasi milineal mam­pu mengartikulasikan kepentingan mereka.

“Survei yang menye­butkan bahwa Prabowo unggul di kelompok mile­nial tentu bisa dibaca lanta­ran Prabowo dianggap bisa mengartikulasikan kepen­tingan milenial,” ujar Arif yang menjabat Direktur IndoStrategi Research and Consulting.

Menurutnya, generasi milineal menilai Prabowo sebagai tokoh yang lebih bisa bekerja untuk men­ciptakan ekosistem yang mendukung bagi kema­juan kelompok milenial, men­ciptakan lapangan ker­ja, dan mampu menja­wab tanta­ngan bangsa di­bandingkan dengan tokoh-tokoh. “Pra­bowo dinilai tidak berlebihan dalam melakukan pencit­raan dan dianggap mema­hami per­masalahan eko­nomi,” ka­tanya. (*)

Exit mobile version