Politik dalam Islam 

KETUA DPRD Kota Pa­dang, Syafrial Kani.

Politik pada dasarnya adalah kebutuhan umat manusia.  Manusia dicipta oleh Allah sebagai makhluk berpolitik.  Politik diartikan sebagai cara yang ditempuh oleh manusia untuk mencapai tujuan secara bersama sama dengan manusia lainnya.  Artinya politik itu berhu­bungan dengan kemas­lahatan manusia.  Tidak ada politik yang bersifat pribadi.  Jika politik telah diarahkan pada keun­tungan pribadi maka itu tidak layak lagi disebut politik, tetapi adalah ben­tuk egois manusia ter­hadap manusia lain.

Manusia yang meman­faatkan orang lain untuk keuntungan pribadinya maka cara demikian bisa disebut sebagai keza­li­man.  Kenapa demikian? Karena keuntungan pribadi yang didapat dengan me­ngorbankan orang  lain su­dah pasti memuat unsur un­sur ketidak adilan dan ti­dak berperikema­nusiaan.

Rasulullah dalam ber­dak­wah untuk mene­gakkan kemaslahatan melalui dak­wah islam tidak lah mung­kin bisa sukses jika beliau tidak berpolitik.  Dapat kita lihat bagaimana Rasulullah berdialog dengan Orang orang kafir sebelumnya, bahwa Nabi tidak mau me­ngikuti pola hidup jahiliyah dan menyembah latta, uz­za dan manat, tapi Nabi juga tidak pernah memaksa orang lain untuk mengikuti dirinya dalam menyembah Allah dan berlaku adil.

Dialog yang terjadi an­tara Nabi dengan pemuka Quraish adalah langkah awal politik Nabi.  Nabi menunjukkan identitasnya dengan terang tanpa ada unsur abu abu.  Selan­jut­nya beliau konsisten ber­diri di jalan yang benar ter­sebut.

Tujuan Nabi bukanlah untuk dirinya tapi untuk kemaslahatan umat.  Agar kaumnya tidak lagi jahil (bodoh) dan juga tidak lagi zalim.  Perilaku menyem­bah patung adalah bodoh.  Berbuat semena mena pa­da manusia lain adalah za­lim.  Keduanya itu diten­tang oleh Nabi dengan cara bijak.

Dengan demikian da­pat kita tarik kesimpulan bahwa politik berguna da­lam hal pertama,  menuju kemaslahatan umat. Ke­dua, meniadakan ketidaka­dilan dan kezaliman dan ketiga, bersatu untuk men­capai kesejahteraan dan kedamaian secara bersa­ma-sama.

Mustahil ketiga hal di atas dapat terselenggara di tengah umat atau dalam satu wilayah yang berdau­lat jika tidak ada politik bekerja di dalam sistem tersebut.  Persoalannya adalah cara politik yang sering diterapkan tidak selamanya berada pada koridor tiga hal di atas.

Seringkali kita terjebak dan terjerat kepada unsur kepentingan diri sendiri atau golongan karena ada­nya godaan duniawi yang mana setan selalu meng­goda ke arah itu.

Mengembalikan Makna Politik pada Tempat yang Benar

Tentu saja untuk me­ngembalikan makna politik pada tempat yang benar seperti yang telah dite­rang­kan di atas tidak lah mudah kelihatannya.  Ba­nyak sekali rintangan dan hambatan serta godaan seolah olah, padahal sebe­narnya tidak demikian.  Tipu daya setan saja yang memberikan syak di hati dan merayu pada pikiran untuk mengakui bahwa cara politik yang benar itu susah dan sulit.

Berpolitik secara benar dan dibenarkan oleh Islam sesungguhnya tidak lah sulit.  Sederhana saja sebe­narnya.  Kita kembalikan pada makna. Politik seba­gai fitrah manusia yang diciptakan oleh Allah.  Bah­wa manusia sebagai makh­luk sosial tidak bisa hidup sendiri di alam ini.  Manusia yang satu membutuhkan manu­sia yang lain.

Begitu juga halnya da­lam mengelola dan me­man­faatkan sumberdaya alam pada lingkungan hi­dup.  Allah telah mencip­takan se­gala sesuatunya di sekeliling kita untuk kese­jahteraan umat manusia.  Kesemua­nya diciptakan Allah untuk tujuan yang haq.  Tinggal kita melak­sanakan amanah yang de­mikian saja.  Di­mana letak sulitnya?

Sulit itu terasa ada tat­kala iman kita telah go­yang.  Sulit itu terlihat ha­nya jika kita telah bergeser pada kepentingan duniawi kita semata.  Saat itulah kita akan menghalalkan segala cara dalam berpolitik.

Akibat Berpolitik Dengan Cara yang Salah

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ber­politik itu tidak hanya da­lam kepemerintahan dan kekuasaan, tapi di mana saja sebenarnya anda se­dang berpolitik.  Jika anda seorang guru di sekolah, maka anda juga menerap­kan unsur unsur politik agar siswa bisa mengikuti apa yang anda inginkan untuk kecerdasan siswa itu. Jika anda seorang pe­ngusaha maka anda mene­rapkan politik pada bawa­han agar tujuan dari peru­sahaan tercapai untuk ke­sejahteraan bersama.

Lalu apakah dampak dari cara politik yang tidak benar? Jawabnya adalah semua yang dilakukan te­lah dicatat sebagai saksi nanti untuk diperlihatkan pada kita saat kehidupan yang sebe­narnya akan ber­langsung.  Kehidupan di dunia ini benar benar sebentar saja.  Terlalu rugi jika kita isi dengan kegiatan dan praktik praktik politik yang tidak benar menurut Islam.

Dampak yang akan kita dapati pertama adalah kerugian di dunia sebagai balasan dari apa yang te­lah kerjakan jika itu salah dan di akhirat juga harus dibayar dengan siksa yang pedih.  Dampak pada umat juga demikian.  Tidak akan ada keberkahan  di tengah umat apabila praktik prak­tik politik yang terjadi di tengah umat tersebut dila­kukan dengan cara yang tidak diredhai oleh Allah.

Tidak ada keberkahan itu dapat dilihat tidak lama.  Tidak terlalu lama buat kita manusia untuk mem­bukti­kan bahwa keberkahan tidak ada di tengah umat.  Misalnya terjadi bencana, kehidupan yang tidak sejah­tera, tidak adanya rasa persatuan yang kuat sesama kita lagi, dan lain sebagainya.

Politik dalam Perspektif Islam

Saya telah berdialog dengan alim ulama di Kota Padang perihal politik da­lam perspektif islam ini.  Begitu berhati hatinya saya menuliskan ini karena me­masuki ranah yang sensitif perkara akidah.  Ternyata dalam Islam, politik ini dikenal dengan istilah “si­ya­sah” yang berarti me­ngatur urusan umat.  Islam adalah agama yang mene­kankan sekali pada hal ini.

Bahkan jika ada orang islam yang tidak terpanggil hatinya untuk urusan umat maka dipertanyakan kei­ma­nannya.  Jika siyasah atau politik diartikan secara sempit untuk kekuasaan dan kebanggaan semata, maka Islam pun mencela hal ini.  Islam memberikan makna siyasah sebagai bentuk penyempurnaan pengabdian pada Allah semata.  Artinya jika de­ngan politik lalu kita men­dapatkan kekuasaan untuk mengatur umat, maka itu­lah wadah bagi kita dal­am pengabdian pada Allah.

Dengan kekuasaan kita bisa leluasa untuk mene­gakkan amar maruf nahi mungkar.  Kekuasaan itu sendiri adalah alat untuk kita dalam beribadah baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.  Bersama sama kita menegakkan keadilan dan kemakmuran sesuai yang diredhai Allah.

Pertanyaan kemudian bagaimanakah dengan im­plementasi politik saat ini?  Apakah Islam masih mem­benarkannya?  Jawaban­nya adalah Islam sangat terbuka terhadap adanya hal hal yang baru dalam politik, selagi batas batas syariah tidak dilanggar.  Kenapa demikian? Karena Islam melalui risalah yang dibawa oleh Rasulullah juga tidak dengan detil dan eksplisit mengkonsep­tual­kan politik itu sendiri.

Artinya manusia diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan bagaima­na ia berpoltik.  Yang jelas, hukum hukum syariah te­lah menetapkan mana yang haq dan mana yang bathil. Yang haq adalah kebenaran ditegakkan de­ngan kejujuran dan keadi­lan.  Sementara cara bathil adalah melakukan peni­puan, kezaliman,, ketidak­adilan dan berlaku curang serta ingkar janji dalam berpolitik.  Yang bathil ada­lah jika praktik politik dila­kukan dan ditempuh untuk kepuasan diri sendiri dan golongan tanpa ada niat dan aplikasinya untuk mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan.

Harapan Kita Bersama

Siapapun kita, apapun profesi kita di dunia ini maka marilah kita kemba­likan makna politik kepada tempat yang benar.  Kita lakukan segala daya dan upaya yang lurus untuk berada pada tujuan yang lurus pula.

Dimulai dari tiap diri di tengah keluarga, di lingku­ngan sosial masyarakat tempat tinggal sampai pada lingkungan yang lebih luas lagi.  Mari kita ingat bahwa tujuan kita berpolitik adalah untuk kesejah­te­raan bersama-sama. (*)

Exit mobile version