Kecewa RUU PKS Belum Disahkan, Puluhan Perempuan Lakukan Aksi Diam di Didepan Kantor DPRD

AKSI DIAM—Sejumlah aktivis perempuan melakukan aksi diam di bundaran depan kantor DPRD Sumbar, sebagai bukti kekecewaan terhadap pemerintah yang belum juga mensahkan RUU PKS.

PADANG, METRO
Puluhan aktivis perempuan di Sumatera Barat yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan melakukan aksi diam di bundaran depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat. Dalam aksinya, mereka jua menuntut agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan. Senin (8/3).

Para perempuan ini juga membawa sejumlah poster yang berisi keluhan perempuan korban kekerasan. Bahkan mereka berdiri di tengah jalan, di depan para pengendara yang berhenti saat lampu merah dan memperlihatkan tulisan di kertas karton, seperti , “Aku Perempuan, Diperkosa Ayahku Sendiri”, “Kapan aku tidak disalahkan?”, “Aku perempuan dihina karena pakaian”, dan “Aku menolak, aku diancam hendak dibunuh”.

Aksi diam para kaum perempuan tersebut digelar bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional dan aksi itu diinisiasi oleh Nurani Perempuan Womens Crisis Center (NPWCC).

Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengatakan, aksi diam merupakan gambaran kekecewaan terhadap pemerintah yang tidak kunjung mengesahkan RUU PKS. Padahal, RUU ini sangat penting dalam upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap perempuan yang masih terus terjadi.

“Sebenarnya hati dan pikiran kami berteriak, tapi kami diam karena merasa sudah sangat kecewa. Pemerintah menganggap kekerasan seksual sangat sepele. Mereka lupa kekerasan seksual itu adalah persoalan sangat rumit. Ketika korban tidak pernah dipulih,” ungkapya.

Untuk aksi kali ini, jelas Meri, Jaringan Peduli Perempuan yang ikut terdiri atas 20 organisasi. Perwakilan organisasi yang ikut aksi, antara lain, WCC Nurani Perempuan, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sumbar, Lembaga Bantuan Hukum Padang, Forum Komunitas Dampingan WCC Nurani Perempuan, Sekolah Gender, Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, mahasiswa, dan seniman.

Pihaknya menuntut pemerintah agar serius menangani kasus kekerasan dan memberikan pemulihan terhadap korban. “Kami berharap pemerintah betul-betul serius menangani kasus-kasus kekerasan. Korban kekerasan seksual tidak butuh untuk dihakimi. Tapi, mereka butuh untuk dipulihkan. Itulah tuntutan kami pada momen Hari Perempuan internasional. Kami menyuarakan ini denga cara menyuarakan dengan diam,” ungkapnya.

Sepanjang 2020, jelas Meri, Nurani Perempuan mendampingi sebanyak 94 orang korban kekerasan. Meskipun angkanya menurun jika dibandingkan tahun lalu, kata Meri, bukan berarti berkurangnya kekerasan yang terjadi.

“Menurut kami pandemi Covid-19 membuat angka tersebut menurun, karena korban semakin kesulitan mengakses layanan. Ketika mereka mengakses lembaga layanan kembali mengalami kekerasan dari pelaku. Selama pandemi, intensitas korban dan pelaku berada di rumah itu tinggi,” ucapnya.

Lebih lanjut, dijelaskan Meri, jika selama ini bentuk kekerasan yang dominan terjadi yaitu kekerasan seksual dalam hubungan pacaran dan pernikahan, baru-baru ini juga ditemukan adanya kekerasan berbasis gender via online.

Meri berharap tidak ada lagi masyarakat Sumbar yang menolak RUU PKS. Akhir 2020, beberapa kelompok masyarakat dan mahasiswa menolak RUU PKS dengan menuding bahwa RUU ini pro zina dan LGBT. Meri membantah tuduhan itu, justru RUU PKS bertujuan untuk membebaskan negara dari tindak kekerasan seksual. (hsb)

Exit mobile version