DEWAN Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Sumatera Barat, menggelar rapat paripurna terkait penetapan usul prakarsa DPRD terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Kamis (3/12), di ruang rapat utama gedung DPRD Sumbar.
Ranperda tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) ini merupakan gagasan dari Komisi V DPRD Sumbar.
Juru Bicara pengusul Ranperda Perlindungan Perempuan dan Anak, Sitti Izati Aziz, yang juga Wakil Ketua Bapemperda DPRD Provinsi Sumtra Barat, Ranperda Perlindungan Perempuan dan Anak, merupakan pengganti dari Perda No 5 Tahun 2013 tentang Perempuan dan Anak.
“Cakupan materi yang diatur dalam Perlindungan Perempuan dan Anak tersebut mencakup enam sub urusan,” ucapnya.
Enam sub urusan tersebut, yakni Sub Urusan Kualitas Hidup Perempuan. Baik pemberdayaan dibidang politik, hukum, sosial, ekonomi serta penguatan pengembangan kelembagaan.
Kemudian Sub Perlindungan Perempuan, mencakup pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan pengembangan lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan.
Kemudian, Sub Urusan Kualitas Keluarga, mencakup peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender (KG) dan anak-anak.
Sub Urusan Pemenuhan Hak Anak (PHA), mencakup pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah , non pemerintah dan dunia usaha.
Sub Urusan Perlindungan Anak, mencakup pencegahan kekerasan terhadap anak.
Terakhir, Sub Urusan Sistem Gender dan anak, mencakup pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data gender dan anak.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat Suwirpen Suib yang memimpin rapat paripurna mengatakan, terjadinya perkembangan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia termasuk di Sumatera Barat, mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi menggunakan hak usul prakarsa untuk membuat Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda).
“Kondisi ini perlu menjadi perhatian dan mendorong DPRD menyusun Ranperda menggunakan hak usul prakarsa,” kata Suwirpen.
Suwirpen menerangkan, kondisi meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, membutuhkan adanya regulasi yang komperehensif bagi pemerintah daerah sebagai landasan untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Berangkat dari pemikiran tersebut, DPRD melalui Komisi V menggunakan haknya mengajukan Ranperda PPPA,” ujarnya.
Ranperda tersebut, lanjut Suwirpen, pada esensinya adalah sebagai pengganti dari Perda nomor 5 tahun 2013.
Perda dimaksud dinilai telah tidak sesuai lagi dengan UU nomor 23 tahun 2014, terutama urusan yang menjadi kewenangan daerah dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak. Serta tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat.
Ranperda usulan DPRD tersebut telah melalui tahapan harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapem Perda). Hal itu sesuai dengan pasal 52 huruf d PP nomor 12 tahun 2018. Tujuannya, untuk mensinergikan dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi dan menyempurnakan materi.
Suwirpen mengulas, sesuai PP nomor 12 tahun 2018, DPRD dan kepala daerah memiliki kedudukan yang sama dalam pembentukan peraturan daerah. Bahkan, dalam kondisi tertentu, Ranperda usul prakarsa DPRD lebih menjadi prioritas.
Ketika ada usulan Ranperda yang sama antara kepala daerah dan DPRD, maka yang dibahas adalah Ranperda usul DPRD. (*)