Dikatakan, sebelumnya produksi padi dalam satu hektar bisa mencapai diatas 5 ton. “Kini hanya tembus berkisar di angka 4 ton, karena kurangnya program peningkatan produksi dan dukungan sarana produksi akibat keterbatasan anggaran di daerah,” terangnya.
Ronaldi menjelaskan, dari 10 ribu hektar sawah yang dimiliki Kabupaten Sijunjung, idealnya pemerintah perlu melakukan intervensi minimal 30 persen dari jumlah itu.
“Sebelumnya kita bisa melakukan pengembangan padi inbrida mencapai 3.000 hektar, kemudian turun di angka 1.600 hektar dan tahun ini hanya bisa sebanyak 840 hektar. Hal itu meliputi bantuan bibit, Alsintan, pemberdayaan petani hingga pupuk subsidi. Bahkan sekarang pupuk subsidi pun juga dikurangi kuotanya,” jelas Ronaldi.
Pihaknya berharap kondisi yang demikian kedepannya bisa lebih baik. “Kita di Sijunjung memang masih surplus, namun angka surplus tadi terus berkurang. Apalagi pertanian ini berdampak langsung kepada perekonomian masyarakat, karena pertanian tulang punggung perekonomian kita di Sijunjung,” tambahnya.
Sementara itu, hal yang sama juga diungkapkan oleh Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sijunjung, Endi Nazir. “Defisit yang terjadi bukan hanya bagi kita saja, tapi hampir semua daerah. Karena kondisi keuangan negara yang demikian dan APBD bersumber dari negara,” terangnya.
Diterangkannya, Kabupaten Sijunjung memiliki APBD tahun 2023 dengan nilai Rp.1 triliun lebih. Dari jumlah tersebut Kabupaten Sijunjung mengeluarkan sebanyak hampir 40% untuk belanja pegawai setiap tahunnya. “Kemudian dari nilai yang tersisa ada ketentuan dan kebijakan dari pemerintah pusat untuk peruntukkannya. Sehingga daerah hanya bisa mengolah sisa anggaran tadi yang dibagi sesuai kebutuhan dan mengacu pada RPJMD. Jadi saat ini memang sangat terbatas,” tambah Endi Nazir. (ndo)