Tidak semua laki-laki seperti Herry Susanto. Saya baru kenal ia saat mendarat di bandara Tambulaka, Sumba Barat Daya. Di bandara itu ia menyalami saya. Herry mau terbang ke Kupang. Pak Dahlan mau ke mana?,” tanyanya. ”Ke Sumba Timur. Tapi mau mampir dulu ke Nihi Sumba di Nihi Watu,” jawab saya.
”Kok sendirian?,” tanyanya lagi. ”Saya kan sudah besar… hahha …,” jawab saya sekenanya. Singkatnya: ”Pakai saja mobil saya. Ada sopirnya,” katanya. ”Gak apa-apa?,” tanya saya basa-basi. Dalam hati sih saya berhoreee… gak perlu cari sewaan mobil. Yang juga tidak tahu di mana ada sewaan itu. ”Pak Dahlan pakai saja… berapa hari pun silakan…,” katanya. ”Toh saya ke Kupang… mobil ini nganggur … justru saya minta maaf tidak bisa menemani,” tambahnya. ”Tapi … bolehkah saya sopirinya sendiri saja? Tidak perlu sopir?,” tanya saya.
Herry terheran-heran. Tapi rupanya ia tahu kebiasaan saya di Sumba. Waktu jadi menteri pun saya sering membawa mobil sendiri. Pernah tabrakan di tikungan dekat peternakan. Pernah juga bannya kempes di tengah sabana. Saat kembali dari ladang penari langitnya Ricky Elson. Di Sumba Timur. Tidak ada ban serep. Mobil saya paksa meneruskan perjaslanan. Dengan ban kempes. Sampai peleknya tidak bisa dipakai lagi.
”Hati-hati ya pak… ini Sumba. Jalannya berliku-liku. Mobil ini pakai kopling. Pak Dahlan kan biasa mobil matic,” pesan Herry. Herry adalah pengusaha muda. Teman jarak jauh Bobby Liono yang ketemu saya di bandara Ngurah Rai itu. Yang awalnya benci bapaknya itu. Saya catat nomor HP Herry. Takut ada masalah ban kempes dengan mobil itu. Saya berjanji akan mengembalikan mobil itu di lapangan parkir bandara yang sama. Kapan-kapan.
Wow…mobilnya ada bak belakangnya. Double cabin. Mobil off road. Cocok untuk medan Sumba. Cat luarnya doreng. Seperti mobil tentara. Cocok untuk Sumba Barat. Yang sering rusuh. Yang kantor bupatinya pun dibakar habis. Yang laki-lakinya selalu menyandang pedang panjang di pinggang mereka.
Yang banyak bangunan beton nan megah penyimpan mayat di halaman warga. Sepuluh menit pertama saya harus berlatih: membiasakan kombinasi persneleng-rem-gas. Sudah begitu lama tidak mengemudikan mobil seperti ini. Saat meninggalkan kota Tambulaka (ibukota kabupaten Sumba Barat Daya) saya masih tertatih-tatih. Apalagi jalan sempit itu padat. Banyak konvoi kampanye hari terakhir Pilkada.
Tapi setelah lepas kota Waikabubak (ibukota kabupaten Sumba Barat) sudah mulai terbiasa. Justru asyik. Bisa main gigi rendah dengan lincah. Di setiap tikungan. Dan tikungannya ribuan. Pendek-pendek. Tajam-tajam. Naik-turun. Di Amerika tidak ada lagi jenis tikungan seperti ini. Di Yellow Stone pun. Di Rocky Mountain sekali pun. Sumba memang istimewa. Saya memang pengagum alam Sumba. Terutama di bulan Juni seperti ini. Atau di bulan Juli. Terakhir Agustus. Sejuk dan nyaman. Damai dan ngeri. Indah dalam kegersangan.
Tidak ayal bila raja penyair Indonesia yang juga presiden Malioboro, yang gurunya para penyair, gurunya Emha, gurunya Linus, Si Umbu Landu Paranggi begitu emosional dengan tempat kelahirannya. Dan lahirlah sajak-sajak tentang Sumba yang legendaris. Yang dibaca siapa saja. Saya ingin: lebih banyak lagi orang datang ke Sumba. Mencari inspirasi. Memperkaya jiwa. Mengasah nurani. Melupakan dunia. Nirpeduli birkin. Abaikan Bijan. Termasuk Nihi Sumba. (*)
Komentar