Oleh: “Kalaupun kita berbuat baik, orang lain tetap menganggap kita tidak baik. Berbuat baik tetap akan dicap salah. Ya udah, kalau gitu berbuat salah aja sekalian”
Kalimat diatas dilontarkan oleh anak usia 15 tahun yang menjadi Anak Didik Pemasyarakatan di salah satu Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang sempat kami kunjungi beberapa waktu lalu. Pernyataan seperti itu diamini oleh teman-teman lainnya. Ini menunjukan bahwa keinginan untuk menjadi lebih baik setelah Anak Didik Pemasyarakatan selesai menjalani pidananya terhambat oleh stigma-stigma negatif yang terlanjur dibuat oleh masyarakat.
Namun demikian, tidak semua Anak Didik Pemasyarakatan beranggapan seperti itu. Ada juga yang tetap akan bersikap dan berperilaku baik meskipun orang lain menganggap mereka tidak baik karena pernah terlibat kasus hukum yang menyebabkan mereka menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Ferdi (bukan nama sebenarnya), bersikukuh mengatakan kepada teman-temannya bahwa ia akan menjadi pribadi yang lebih baik, melanjutkan pendidikan dan kembali meraih cita-citanya menjadi pengusaha dan tidak akan peduli terhadap stigma yang melekat kepada dirinya meskipun berstatus mantan narapidana. Namun sayangnya, tidak semua anak berpikiran kuat dan bermental baja seperti Ferdi ini.
Bagi sebagian masyarakat, mantan narapidana masih berkonotasi negatif. Sehingga ketika mereka kembali ke lingkungan tempat tinggalnya, akan ada yang memandang sinis atau menghujat dan bahkan mengucilkannya. Bentuk-bentuk respon ini dianggap sebagai sanksi sosial yang didapatkan oleh mantan narapidana. Sanksi sosial ini pada akhirnya menimbulkan masalah sosial terhadap interaksi antara mantan narapidana dan masyarakat sekitar. Masalah sosial tersebut dapat berupa penolakan, stigma, labeling dan sebagainya.
Penolakan yang diberikan terhadap mantan narapidana disebabkan adanya dorongan emosional dari masyarakat yang berkembang melalui gambaran tentang perilaku menyimpang yang pernah dilakukan oleh mantan narapidana tersebut. Sama halnya dengan labeling yang merupakan pemberian sebuah tanda atau nama untuk individu yang melakukan kejahatan atau perilaku menyimpang. Labeling tidak hanya berbentuk pemberian nama akan tetapi pembedaan cara bersikap antara mantan narapidana dengan individu lainnya. Mantan narapidana umumnya berupaya agar dapat diterima dengan baik ke lingkungan tempat tinggalnya namun upaya yang baik, belum tentu mendapatakan respon yang baik. Masih ada anggapan bahwa mantan narapidana adalah orang jahat dan selamanya akan berbuat jahat di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Anggapan ini yang menghambat dalam proses penerimaan mantan narapidana dalam berinteraksi dan berintegrasi dengan masyarakat.
Dalam proses pemasyarakatan, sebelum narapidana mengajukan untuk mendapatkan program integrasi dan asimilasi, diharuskan mendapatkan Surat Pernyataan yang diketahui oleh masyarakat sekitar yang diwakili oleh RT dan RW serta pemerintah setempat yang diwakili oleh Lurah. Surat Pernyataan ini dimaksudkan sebagai pemberitahuan bahwa seseorang yang sedang menjalani pidananya di Lembaga Pemasyarakatan maupun Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan segera berbaur kembali ke dalam masyarakat melalui program asimilasi ataupun integrasi karena dianggap sudah berkelakukan baik dan telah menjalani 2/3 masa pidananya sehingga berhak mendapatkan program integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat maupun Cuti Menjelang Bebas.
Mengingat bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan, maka terhadap mantan narapidana seharusnya dapat diterima dalam masyarakat dan harus dapat hidup berdampingan dengan masyarakat karena hakikatnya, pemasyarakatan merupakan cara untuk memulihkan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan sehingga mereka dapat mengoptimalkan kembali keberfungsian sosialnya di tengah masyarakat. Tetapi terkadang, kenyataan yang ada dalam masyarakat berbeda dari harapan mantan narapidana ketika menjalankan program integrasi. Mantan narapidana dicurigai, dikucilkan, sulit mendapatkan pekerjaan sehingga beberapa mantan narapidana tidak lagi sanggup untuk berada dalam lingkungan masyarakat dan merasa tidak bermanfaat serta memiliki krisis kepercayaan diri.
Dalam kehidupan sosial masyarakat, penolakan terhadap mantan narapidana dapat disebabkan karena label negatif yang diberikan kepada mereka, dan sikap kewaspadaan masyarakat yang cenderung berlebihan. Setiap anggota masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianut dan disepakati bersama sehingga sebenarnya wajar apabila masyarakat memberikan reaksi terhadap perbuatan negatif yang telah dilakukan oleh seseorang. Namun menjadi tidak wajar apabila masyarakat menjadi agen labelisasi yang dilakukan terhadap pelaku secara terus-menerus yang sebenarnya bukan ditujukan pada perbuatannya melainkan pada pribadi mantan narapidana tersebut. Hal inilah yang membuat mantan narapidana sulit diterima kembali dalam masyarakat dan pada akhirnya mereka berkumpul dengan orang-orang yang memiliki nasib yang sama sehingga muncul kemungkinan untuk kembali melakukan pelanggaran dan menjadi residivis karena mereka beranggapan bahwa apapun yang mereka lakukan tetap dianggap salah oleh masyarakat, atau bahkan mereka melakukan aksi ekstrim seperti yang dilakukan tokoh Brooks dalam film Shawshank Redemption.
Brooks merasa tidak nyaman ketika orang lain memandang dirinya dengan tatapan yang berbeda, ia selalu merasa menjadi bahan gunjingan orang lain karena statusnya sebagai mantan narapidana hingga ia memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara gantung diri di kamar kos nya. Brooks meninggalkan pesan dengan mengukir tulisan “Brooks was here” pada kayu melintang tempat ia gantung diri. Meskipun ini merupakan adegan film, tidak menutup kemungkinan bisa terjadi juga dalam kehidupan nyata jika mantan narapidana merasa tidak sanggup dan merasa keberadaannya tidak berarti di tengah masyarakat sehingga memilih untuk mengakhiri hidup daripada terus menerus menjadi beban keluarga dan omongan masyarakat. Tampak disini bagaimana respon masyarakat memiliki peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku seorang mantan narapidana. Jangan sampai ucapan, pandangan, dan respon kita terhadap mantan narapidana menjadi penyebab mereka kembali melakukan tindak pidana atau malah memilih mengakhiri hidup.
Agaknya, kalimat bijak yang entah dicetuskan oleh siapa ini bisa kita maknai bersama sebagai refleksi atas diri sendiri dan juga orang lain termasuk bagaimana sikap kita terhadap mantan narapidana. “Orang baik punya masa lalu, orang jahat punya depan”. Semua orang punya masa lalu, ada yang masa lalunya baik ada juga yang memiliki masa lalu buruk. Meskipun begitu, bagi yang masa lalunya kelam, tetap ada harapan untuk memiliki masa depan yang cerah, bukan?. (**)