Tidak ada teman dan musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Sebuah petuah lawas dalam politik yang menggambarkan pragmatisme politik saat ini. Dalam politik, kawan dapat dengan cepat berubah menjadi lawan dan lawan berubah menjadi kawan. Realitas ini terjadi dalam perpolitikan di Indonesia yang nampaknya akan menimpa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikabarkan akan pecah kongsi dengan Partai Gerindra (PG) pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Isu pecah kongsi tersebut semakin terasa dengan gerak gerik Partai Gerindra yang mulai mengincar posisi di pemerintahan. Kedekatan Partai Gerindra dengan partai pendukung pemerintah sangat kentara dengan Prabowo selaku Ketua Umum Gerindra melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah ketua umum dari Koalisi Indonesia Kerja. Hal ini semakin diperjelas dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad yang dikutip fokus.tempo.co yang menyebutkan, peluang Gerindra untuk berkoalisi dengan pemerintah yaitu 50:50.
Tentunya tindakan yang dilakukan oleh Partai Gerindra bertolak belakang dengan sikap PKS dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang tetap berada dikubu oposisi. Langkah politis yang diambil oleh Partai Gerindra secara tidak langsung menunjukkan kongsi PKS-Gerindra berada diujung tanduk. Dua partai yang dulunya mesra dan bersatu padu dalam memaikan peranan sebagai oposisi dan penyeimbang pemerintahan, nantinya akan berubah menjadi lawan politik.
Tidak ada yang salah dari langkah politik yang diambil oleh Partai Gerindra apabila memutuskan untuk keluar dari oposisi dan menjadi bagian dari pemerintah. Apa yang dilakukan oleh Gerindra hanyalah sebuah pragmatisme politik, dan hal yang biasa dalam politik untuk menyelamatkan kepentingan dan meraih kekuasaan sesuai dengan tujuan adanya partai politik itu sendiri.
Langkah yang diambil oleh Gerindra sendiri untuk menjadi “kutu loncat” bukanlah hal baru dalam perpolitikan di Indonesia. Tradisi tersebut sudah ada sejak Indonesia merdeka dengan lahirnya banyak partai politik. Bisa diambil contoh seperti yang dialami oleh Partai Masyumi ketika ditinggalkan oleh Nadhlatul Ulama (NU) pada tahun 1952 yang disepakati oleh kebanyakan tokoh NU.
Dikutip dari buku “NU: Pertumbuhan dan Perkembangannya” karya Khairul Anam menyebutkan, salah satu faktor keluarnya NU dari Masyumi adalah kursi Menteri Agama yang biasanya dipegang oleh orang-orang NU diserahkan kepada Faqih Usman seorang tokoh Muhammadiyah, serta NU merasa diabaikan dalam pembentukan kabinet Wilopo tahun 1952. NU dan Masyumipun bersaing dalam kontelasi politik Indonesia, terutama dalam merebut suara umat Islam saat itu. Walaupun bersaing kedua partai tersebut sama-sama memperjuangkan nilai-nilai Islam, terutama saat Sidang Konstituante yang membahas dasar negara.
Namun di saat Masyumi berkonfrontasi dengan Soekarno hingga partai tersebut dibubarkan, Partai NU lebih memilih langkah kompromis dengan merangkul dan mendekati Soekarno. NU pun menjadi partai yang dekat dengan pemerintahan yang bertujuan agar Sorkarno tidak terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu.
Sikap pindah dukungan tersebut berlanjut di kancah perpolitikan Indonesia. Pada Pemilu 2014, partai-partai terbagi dalam Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Pasca Pilpres 2019, beberapa partai koalisi Merah Putih yaitu Golkar, PAN dan PPP pindah haluan ke Koalisi Indonesia Hebat. Tradisi tersebut nampaknya akan terus berlanjut ketika Gerindra mulai tertarik bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Amin, sedangkan PKS dan PAN tetap komit menjadi partai oposisi.
Momentum PKS di Daerah
Apabila Gerindra memilih untuk keluar adari oposisi dan bergabung dengan pemerintahan, akan memberikan dampak positif maupun negatif, terutama bagi PKS. Dampak positif bagi Gerindra yaitu sebagai langkah awal untuk mengembalikan Partai Gerindra ke “khittahnya” atau jalurnya sebagai partai nasionalis bukan islamis. Inilah upaya yang nampak dilakukan ole Gerindra karena partai tersebut menjelang dan selama Pilpres 2019 dicitrakan dekat dengan kelompok Islam.
Namun di sisi lain, tindakan tersebut akan memberikan dampak negatif bagi Gerindra yang akan terancam kehilangan dukungan banyak di wilayah Sumatera yang notabenenya seagai mayoritas pemilih Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 lalu. Masalah inilah yang dapat menjadi momentum bagi PKS untuk meraup dukungan masyarakat yang kecewa dengan Partai Gerindra, terutama di wilayah Sumatera Barat yang 85 persen memilih Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019.
Sejatinya, kalau ini terjadi akan memberikan keuntungan besar bagi PKS di Sumatera Barat, terutama dalam menyongsong Pilgub tahun 2020 mendatang. PKS yang sudah meraup dukungan 15,18 persen pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu, dapat menggunakan kesempatan itu untuk mengambil massa Gerindra yang kecewa dengan keputusan Gerindra untuk bergabung dengan pemerintahan. Gerindra sendiri pada Pileg 2019 lalu di Sumatera Barat meraup 20,69 persen suara atau suara tertinggi di Sumatera Barat.
Tentunya untuk meraup kemenangan pada Pilgub Sumatera Barat 2020 tersebut, bagi PKS tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menang, PKS harus jeli dalam memilih calon gubernur yang diusung. Beberapa calon seperti Mahyeldi Ansharullah, berpeluang besar menjadi Pilihan Terbaik Rakyat Sumatera Barat karena track record beliau yang dianggap berhasil membangun Kota Padang dengan beragam penghargaan. Nama Mahyeldipun sudah terdengar di media maenstream maupun media sosial.
Selain menentukan calon gubernur yang tepat, PKS juga harus cermat dalam memilih calon wakil gubernur potensial serta memainkan isu-isu yang ada di masyarakat terutama rasa sakit hati pendukung Prabowo di Sumbar akibat Gerindra yang akan pindah haluan, karena seperti yang kita tau, masyarakat Indonesia sangat mudah melupakan kesalahan partai yang mereka dukung. Pertanyaannya adalah mampukah PKS memanfaatkan momentum tersebut, apabila Gerindra benar-benar meninggalkan oposisi? Tentu hanya PKS yang dapat menjawabnya. (Mhd. Alfahjri Sukri)