Pada bekas lokasi reruntuhan bangunan Bimbel Gama di Jalan Proklamasi, kembali didirikan bangunan baru setelah 6 tahun.
TARANDAM, METRO–TERIAKAN minta tolong siswa-siswi yang terjebak di dalam gedung Bimbingan Belajar (Bimbel) Gama Tarandam, masih teringat jelas. Tangisan-tangisan kesedihan keluarga korban belum akan bisa dilupakan dari pikiran. Saat itu suasana begitu kacau, orang-orang di sekitar bangunan dilanda kepanikan.
Begitulah sekilas gambaran tragedi gempa 30 September yang meluluhlantahkan bangunan-bangunan di Kota Padang yang salah satunya di gedung Bimbel Gama, Tarandam Padang. Setidaknya, disini ada sebanyak 45 siswa yang terkurung dalam reruntuhan bangunan. Sedangkan yang ditemukan meninggal dunia sebanyak 32 siswa. Kemudian 13 siswa diantaranya bisa diselamatkan dalam kondisi hidup.
Lokasi ini memang menjadi perhatian publik saat itu. Betapa tidak, dalam bangunan ini begitu banyak korban yang tewas. Apalagi, korban-korban tersebut didominasi oleh siswa yang tengah menuntut ilmu. Tiba-tiba, tanpa diketahui sebelumnya, gempa membuat mereka berpulang ke Illahi.
Syahpril Effendi (54), warga Tarandam yang rumahnya berada tepat di bangunan tersebut menjadi saksi hidup detik-detik runtuhnya bangunan itu. ”Saya menyaksikan langsung bagaimana kejadian itu. Kejadian pertama kali yang paling dahsyat yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri,” ujar Syahpril yang akrab disapa Pen ini.
Dia menceritakan, beberapa menit sebelum terjadinya gempa, ia masih melihat siswa-siswa Bimbel Gama memasuki ruangan belajar. Memang saat itu adalah jadwalnya bagi pelajar-pelajar tersebut untuk mengikuti bimbel. Sehingga, wajar gedung dipenuhi oleh siswa-siswi.
Namun, ketika semua siswa-siswi tengah serius belajar, tiba-tiba gempa berkekuatan besar datang. Seketika, suasana langsung kacau. Orang-orang berlarian keluar bangunan. Kendaraan-kendaraan yang berjalan disekitar itu tak bisa seimbang, bahkan ada yang mengalami kecelakaan kala itu.
Dia pun juga ikut panik melihat kondisi yang seolah akan terjadi kiamat itu. Dia yang saat itu tengah berjualan di pinggir jalan, tanpa teratur mengemasi barang-barang dagangannya. Dengan segera, dia juga menjadi tempat yang aman, agar tak tertimpa reruntuhan. ”Seperti kiamat dan saya melihat semua panik. Kendaraan sudah memenuhi jalan utama, penuh ketakutan dan cemas,” ungkapnya.
”Saya lemparkan saja barang-barang dagangan saya ke dalam warung. Walaupun berserakan, saya tidak peduli. Yang penting saya selamatkan diri saya dan keluarga saya terlebih dahulu,” lanjut Pen.
Di saat gempa mulai berhenti, kerisauan hatinya mulai tenang. Tapi, sekilas dia melihat ke depan warungnya, debu seperti asap tebal beterbangan di udara. Setelah diamati betul, ternyata itu adalah debu yang mengepul akibat runtuhnya bangunan Bimbel Gama yang berlantai tiga itu.
”Saya kita itu asap kebakaran, ternyata debu tempat anak-anak melakukan Bimbel. Saya amati lagi, ternyata bangunan itu sudah rata dengan tanah. Bangunan yang dulunya tiga lantai dan dengan empat pintu ruko, ternyata rubuh akibat gempa,” cerita Pen.
Saat itu, terdengar jelas oleh di telinganya korban-korban menjerit kesakitan. Ada di antaranya juga meminta pertolongan. Namun, karena orang-orang mulai memadati daerah tersebut serta berteriak akan adanya tsunami, membuat niatnya untuk menolong orang-orang yang terjebak itu urung dilakukan. Dia memilih untuk mencari tempat evakuasi.
”Tolong, tolong kata anak-anak dari dalam bangunan itu. Ada juga yang mengerang karena kesakitan. Tapi tak lama-lama saya mengamati itu, saya pergi untuk mengevakuasi diri akan takut terjadinya tsunami. Tapi memang tsunami tidak ada,” jelasnya.
Sehari setelah kejadian itu, dia kembali ke lokasi itu. Ternyata, di situ sudah terlihat saja puluhan relawan-relawan mengevakuasi korban-korban. Tak disangka, ternyata banyak di dalam bangunan itu yang meninggal dunia. Ambulans berlalu lalang dari bangunan itu membawa satu persatu korban. Penjagaan ketat dari pihak keamanan pun melingkari bangunan itu.
”Pada prinsipnya saya tidak berani melihat korban-korban itu. Tapi, karena hati sudah terpanggil, saya beranikan untuk melihatnya. Sempat saya sedikit menolong untuk mengevakuasi, tapi petugas melarang warga sipil masuk ke lokasi reruntuhan,” tuturnya.
Di sisi lain, saat evakuasi berlangsung, dirinya juga menyaksikan keluarga-keluarga korban yang berdatangan ke lokasi itu. Tangisan tak henti keluar dari mereka. Bahkan, ada diantaranya menangis setengah pingsan. Begitu juga dirinya juga terbawa haru melihat kondisi yang memilukan tersebut.
Namun, waktu demi waktu puing bangunan tersebut mulai hilang dan dibersihkan. Bahkan, kini lokasi tersebut didirikan lagi bangunan baru. Tapi, bangunan tersebut masih dalam proses pengerjaan. Terlihat tiang-tiang bangunan berdiri. Sedangkan disekelilingnya ditutupi oleh seng agar orang-orang tidak sembarangan masuk ke lokasi itu.
Ini menjadi salah satu bukti betapa dahsyatnya gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter melanda sebagian wilayah Sumbar enam tahun lalu. Tak sedikit korban jiwa berjatuhan. Tidak hanya di gedung Bimbel Gama ini, tapi banyak lagi korban berjatuhan yang tersebut di sejumlah wilayah Sumbar.
Menurut data Satkorlak PB, sebanyak 1.117 orang tewas akibat gempa ini yang tersebar di 3 kota dan 4 kabupaten di Sumbar. Sedangkan korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1 orang. Sementara, 135.448 rumah rusak berat, 65.380 rumah rusak sedang, & 78.604 rumah rusak ringan. (Saridal Maijar)