Achmad juga menilai, ekspor pasir laut untuk kepentingan reklamasi sama dengan memindahkan daratan alias menjual pulau. Terlebih, ekspor pasir laut pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1997 hingga 2002 dimana Indonesia menjadi pemasok utama pasir laut ke Singapura untuk perluasan lahan dan telah mengirimkan 53 juta ton per tahun.
Hasil 5 tahun Indonesia melakukan ekspor pasir laut adalah Pemerintah 1997-2022 dianggap bertanggungjawab atas hilangnya pulau-pulau Indonesia dan keanekaragaman hayatinya. Pencabutan larangan ekspor pasir melalui PP No. 26 tahun 2023 ini sejalan dengan akan dilakukannya proyek perluasan lahan di negara tetangga yaitu Singapura.
Untuk diketahui, Singapura adalah importir laut terbesar di dunia yang selama dua dekade telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari negara tetangganya. Namun, Malaysia sebagai pemasok terbesar pasir laut ke Singapura pada tahun 2019 telah melarang ekspor pasir.
Jika Presiden Jokowidodo mengeluarkan izin ekspor pasir laut dengan dalih mengurangi sedimentasi laut, kata Achmad, maka itu adalah langkah yang salah kaprah, karena pengurangan sedimentasi air laut bisa dilakukan tanpa harus mengekspor pasir laut.
“Menjual Pasir laut sama halnya dengan menjual daratan. DPR perlu meminta keterangan Presiden dan Pejabat Menteri terkait kebijakan yang merugikan ketahanan nasional ini. DPR tidak boleh tunduk pada oligarki dengan bersikap permisif terhadap kebijakan yang amat membahayakan kepentingan kedaulatan nasional,” tandasnya.(jpc)