JAKARTA, METRO
Kementerian Pertanian (Kementan) terus melalukan berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan komoditas strategis termasuk cabai rawit. Direktur Jenderal HortikulturaKementan Prihasto Setyanto mengatakan tidak ada impor untuk merespons kenaikan harga cabai yang terjadi dua bulan terakhir.
Koordinasi dengan berbagai pihak untuk mempercepat pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit telah dilakukan.
“Kami sudah berkoodinasi dengan Badan Ketahanan Pangan, BUMN yakni PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), Paguyuban Pedagang dan Pengelola Pasar Induk Kramat Jati, serta dengan para Champion Cabai Indonesia,” kata Anton, panggilan akrabnya Prihasto.
Berbagai upaya jangka pendek yang dapat dilakukan untuk menstabilkan pasokan dan meredam kenaikan harga cabai rawit dibahas dalam rakor tersebut. BKP menggelar pasar cabai murah di 34 titik yang berlangsung 8-20 Maret.
Ditjen Hortikultura akan mendukung pendistribusian cabai dengan fasilitasi sarana distribusi yang dimiliki. Selain itu Ditjen Hortikultura juga menyusun perjanjian kerja sama dengan RNI dalam upaya stabilisasi pasokan ini.
PT Rajawali Nusindo (RN) yang tidak lain adalah anak Perusahaan PT RNI berperan sebagai off-taker yang menjembatani antara Champion/Pertani cabai dengan Pasar Induk Kramat Jati.
PT RN juga dapat memfasilitasi petani dalam mencarikan pembeli dan memanfaatkan infrastruktur yang dimilikinya di seluruh Indonesia. Di samping melakukan upaya-upaya tersebut, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Tommy Nugraha menjelaskan bahwa April diprediksi pasokan sudah aman sehingga tidak perlu adanya impor cabai.
Data Early Warning System (EWS) menunjukkan neraca produksi cabai rawit surplus sebesar 42 ribu ton di April dan 48 ribu ton di Mei.
Selain menggandeng BUMN sebagai off-taker, ke depan Ditjen Hortikultura juga akan mendorong petani menerapkan inovasi rainshelter untuk melakukan tanam pada bulan off season (Juli-Agustus).
Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, maka perlu ada buffer stock berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang dapat dikendalikan pemerintah.
Selain itu, juga terus mengedukasi masyarakat untuk mengonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saus), sehingga tidak tergantung kepada cabai segar. Masyarakat juga dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan.
“Sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran,” ujar Tommy. (jpnn)