DPRD Sumbar Sahkan Ranperda Tanah Ulayat, Pertahankan Identitas Masyarakat Hukum Adat

POTO BERSAMA-- Wakil Ketua DPRD Sumbar Irsyad Syafar, wakil Ketua Suwirpen Suib, Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah,Sekda Hansastri dan Sekwan Raflis, poto bersama usai penandatanganan nota kesepakatan bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Pembiaran tanah ulayat beralih status menjadi tanah hak dan tanah negara telah mengancam keberadaan tanah ulayat, karena itu, Melindungi keberadaan tanah ulayat merupakan perjuangan untuk mempertahankan identitas masya­rakat hukum adat itu sendiri.

Demikian disampaikan Wa­kil Ketua DPRD Provinsi Suma­tera Barat, Irsyad Syafar sat membuka Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat. Senin (4/12).

Disampaikannya, kenyataan selama ini menunjukkan, dalam praktik administrasi pertanahan, praktik peralihan tanah ulayat itu diikuti dengan pendaftaran tanahnya menjadi tanah hak atau tanah negara.

Dalam Rapat Pari­purna Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat Dewan Perwakilan Rak­yat Daerah (DPRD) Pro­vinsi Sumatera Barat telah menyetujui Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah.

Pengesahan Ranperda Tanah Ulayat ter­sebut ditandai dengan pe­nandatanganan nota kesepakatan bersama antara DPRD dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Rapat Paripurna dipimpin wakil ketua DPRD Sumbar Irsyad Syafar didampingi wakil Ketua Suwirpen Suib. Dalam rapat paripurna juga hadir Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah didampingi Sekda Hansastri.

Irsyad Syafar menyampaikan, pada akhir tahun 2022,  DPRD bersama Pemerintah Daerah telah melakukan pembahasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat. Sesuai dengan tahapan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat secara prinsip telah dapat dituntaskan  pembahasannya oleh Komisi I sebagai komisi terkait.

Selanjutnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat tersebut telah dilakukan fasilitasi ke Kementerian Dalam Negeri sesuai ketentuan Dalam Pasal 89 ayat (1) Permendagri nomor 80 Tahun 2015 sebagaimana telah diru­bah dengan Permendagri Nomor 120 Tahun 2018.

Sehubungan dengan telah diterimanya hasil fasilitasi  ranperda dimaksud melalui Surat Mendagri Nomor: 100.2.1.6/7830/OTDA tanggal 14 November 2023 tentang Fasilitasi Ranperda Provinsi Sumatera Barat tentang Tanah Ulayat .

“Dari hasil fasilitasi tersebut telah dilaksanakan rapat oleh komisi I, mengakomodir masukan, saran dan perbaikan dari Kementerian Dalam Negeri, sebelum  Ranperda dimaksud dilanjutkan penetapannya pada Rapat Paripurna,” ungkapnya.

Dia juga menyampaikan, dengan telah selesainya pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Tanah Ulayat, atas nama Pimpinan Dewan kami menyampaikan apresiasi dan ucapan terima terima kasih kepada Komisi I yang telah melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh sehingga kedua Rancangan Peraturan Daerah tersebut dapat kita tetapkan pada Rapat paripurna ini.

Dalam kesempatan itu, Irsyat Syafar juga menyampaikan beberapa substansi pokok dari Ranperda tentang Tanah Ulayat. Sebagaimana kita ketahui,  Tanah ulayat  merupakan identitas masyarakat hukum adat di Sumatera Barat, hapusnya tanah ulayat berarti hapus pula identitas adat. Tanah Ulayat merupakan bidang tanah pusaka beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dan di dalamnya diperoleh secara turun temurun merupakan hak masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.

Bagi masyarakat Minangkabau, tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mayoritas masyarakat adat Minangkabau masih berkaitan dengan tanah yaitu bertani, berkebun dan beternak. Sehingga ketergantungan ini beralasan penting bagi masyarakat minangkabau untuk menjaga status tanah ulayatnya.

Tujuan pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.

Melindungi keberadaan tanah ulayat merupakan perjuangan untuk mempertahankan identitas masyarakat hukum adat itu sendiri. Kenyataan menunjukkan bahwa pembiaran tanah ulayat beralih status menjadi tanah hak dan tanah negara telah mengancam keberadaan tanah ulayat. Dalam praktik administrasi pertanahan, praktik peralihan tanah ulayat itu diikuti dengan pendaftaran tanahnya menjadi tanah hak atau tanah negara.

Hukum agraria nasional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan tegas memberikan pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat dan tanah ulayat. UUPA bahkan menyatakan hukum adat sebagai dasar pengaturan tanah ulayat merupakan hukum positif tidak tertulis dalam hukum agraria.

Berbagai peraturan perundang-undangan pelaksana dari UUPA juga telah mengakui keberadaan tanah ulayat, di antaranya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

Pengakuan ta­nah ulayat tersebut perlu diikuti dengan tindakan nyata pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pengadministrasian tanah ulayat. Oleh karena itu pengaturan tanah ulayat di daerah hendaknya dapat membantu dan mendorong upaya percepatan pe­ng­administrasian pengakuan ta­nah ulayat sehingga terintegrasi dengan sistem administrasi perta­nahan. (**)

Exit mobile version