Kalah menang dalam sebuah kompetisi sudah menjadi sebuah kewajaran. Menang tak perlu jemawa, kalah tak perlu putus asa. Anggap saja kekalahan sebagai kemenangan yang tertunda. Ada ikhtiar yang dijalankan tapi barangkali ikhtiar pihak lain lebih besar dan serius dari kita. Kompetisi saat ini tak hanya di arena olahraga. Itu sudah biasa dan menang kalah dalam kompetisi olahraga sudah terbiasa. Atlet yang profesional akan berjiwa besar menerima kekalahan. Bagi yang menang mereka tidak terlalu semringah. Bergembira memang ada tetapi tak terlalu berlebihan, apalagi masih berada di arena pertandingan dengan tim lawan yang masih tetunduk.
Sportivitas dalam dunia olahraga perlu ditularkan dalam kompetisi politik. Hari hari ke depan suasana kompetisi itu semakin terasa. Pemilu yang sudah di depan mata semakin terasa begitu intensnya gerakan yang dilakukan baik oleh tim Pilpres maupun caleg dengan tim timnya di lapangan. Cost atau biaya politik sudah menjadi hal yang tak terhindarkan. Angkanya akan berbeda pada masing masing calon. Semakin dekat hari pemilihan kabarnya kucuran dana untuk di lapangan semakin tinggi pula. Cetak dan pasang baliho, atribut pakaian, pertemuan masyarakat, bantuan sana sini dan hari pencoblosan 17 April butuh banyak saksi.
Setiap individu peserta Pemilu tentu punya strategi sendiri sendiri dalam bersosialisasi di lapangan. Himbauan banyak pihak agar Pemilu berjalan Luber dan Jurdil tentu menjadi aba aba bagi calon untuk tidak bermain main dengan uang, money politic atau serangan fajar. Imbauan bahwa cara tersebut sangat tercela tentu akan menjadi catatan bagi masyarakat. Hari ke hari publik semakin cerdas dalam menilai orang orang yang akan dipilih di TPS nantinya. Gerakan bagi bagi uang sudah tak populer lagi. Prinsip ambil uangnya tapi jangan pilih orangnya, semestinya benar benar menjadi catatan bagi calon. Jangan sampai minyak habis sambal tak enak. Uang sudah dibagi bagi, hutang bertambah tambah tapi kita tak duduk di legislatif.
Menyampaikan program yang masuk akal, realistis dan bisa dilaksanakan akan lebih bisa menjadi daya tarik bagi masyarakat. Tak perlu membagi 50 ribu atau 150 ribu rupiah. Mungkin satu atau beberapa pemilih masih terperdaya dengan politik uang lantaran literasi pendidikan politik masih belum merata. Tetapi kesadaran masyarakat bahwa polihan menentukan nasib daerah dan bangsa ke depan, figur dan ketokohan seorang calon sangat menentukan.
Banyaknya ragam masyarakat yang ikut pesta demokrasi sebagai calon, mau tidak mau berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat. Semisal ada calon dari unsur ninik mamak atau bergelar datuk, lalu pada waktu yang bersamaan ada ponakan nya yang ikut. Tentu dalam politik sudah biasa, namun dalam tatanan sosial kemasyarakatan baik mamak atau ponakan harus sama sama bisa menjaga kondisi.
Sisi sisi lain kita sama sama melihat begitu terbukanya peluang bergesakan di tengah masyarakat. Mari kita bersama sama menjadikan pergesekan itu menjadi hal yang indah, bukan pergesekan yang berujung pada benturan. Mamak ikut, ponakan ikut tetapi yang lebih penting sama sama menjaga satu sama lainnya. Kalah menang sudah biasa’ yang penting semuanya siap menang dan siap kalah. Pemenang silahkan melaju ke gedung dewan, tetapi yang kalah jangan pula sampai bertukar arah. (*)