Saya dapat oleh-oleh unik: satu boks kopi. Merknya yang unik: Kopi Revolusi. Lebih unik lagi motto yang tertulis di sachet kertas kopi itu: Kopi, Persaudaraan, dan Revolusi. Yang membawa oleh-oleh itu Anda sudah tahu: Fahri Hamzah. Salah satu bintang layar televisi —untuk acara politik. Di sachet itu tercetak foto siluetnya. Hitam putih. Yang lagi tertawa. Bukan tawa kegembiraan yang meluap, tapi lebih pada ekspresi seorang intelektual. Tertawa tapi posisi wajahnya agak menunduk.
Dari situ terlihat bahwa kopi itu hanya akan ia jadikan alat. Alat politik? Alat bisnis? “Dua-duanya,” ujar Fahri. “Juga alat persaudaraan,” tambahnya. Tapi apa hubungannya dengan revolusi? Apakah Fahri akan melakukan revolusi? Dan karena itu ia mendirikan partai baru? Kita harus ingat semua tokoh revolusi Indonesia penggemar kopi,” ujar Fahri – -serius sekali. Ucapan itu membuat saya terbawa ke masa perang kemerdekaan. Juga ke desain sachet kopi itu sendiri. Yang dibuat seperti zaman dulu. Wajah Fahri di sachet itu memang harus agak disamarkan seperti itu. Agar wajah Fahri —yang modern dan putih-bersih— tidak terlihat terlalu elit untuk sebuah citra revolusi.
Saya tidak tahu: apakah oleh-oleh kopi itu hanya sebagai simbol untuk mengajak saya mulai minum kopi —ia tahu saya bukan peminum kopi. Atau untuk tetap menjaga persaudaraan —biar pun kini ia punya partai baru. Atau untuk mengajak saya melakukan revolusi? Saya selalu cocok berdiskusi dengan Fahri. Kecuali soal KPK. Orang ini sangat intelek. Bacaan bukunya sangat dalam. Ia mampu menarasikan persoalan rumit. Termasuk persoalan negara. Tokoh ini bersih —sudah begitu detil orang mencari kesalahannya. Tidak menemukannya.
Sudah lama saya menyimpulkan: Fahri Hamzah ini seorang ideolog. Bukan sekedar orang pergerakan. Bukan hanya sebatas aktivis. Ia memang aktivis. Sejak mahasiswa. Ia orang pergerakan. Bisa dilihat gerakannya selama menjadi aktivis di Partai Keadilan —lalu Partai Keadilan Sejahtera. Ia seorang ideolog: untuk apa dulu ikut di PKS. Apa yang harus diperjuangkan lewat PKS. Dan PKS itu harus bagaimana. Akhirnya Fahri keluar PKS. Atau dikeluarkan. Ia melihat PKS tidak lagi seperti yang ia inginkan.
Sebenarnya sudah lama Fahri gelisah terhadap PKS. Sudah sejak 10 tahun lalu. Lebih nyata lagi sejak Anis Matta tersingkir. Anis tidak lagi dipilih —oleh veto dewan suro— untuk menjabat ketua umum partai. Padahal, kata Fahri, Anis sangat berprestasi. Bisa membawa PKS menjadi partai terbesar ke-4. Menjadi partai Islam terbesar di Indonesia. Di Pemilu 2009. Saya masih ingat saat diundang PKS ke Puncak —tempat wisata pegunungan antara Bogor dan Bandung. Saat itu seluruh pimpinan pusat PKS hadir. Termasuk semua anggota DPR dari PKS. Saya diminta bicara. Di salah satu forum di rangkaian acara harin itu. Saya bilang: PKS kini berada di persimpangan jalan. Kalau tetap menjadi partai Islam tidak akan bisa lebih besar lagi. Kalau mau mengubah ideologi PKS bisa lebih besar bisa menampung pemilih yang lebih luas. Tapi bisa juga justru mengempis. Justru kehilangan basis lama —di saat belum punya basis masa yang baru.
Saya sampaikan waktu itu: masyarakat sebenarnya tidak lagi terlalu peduli dengan ideologi. Apalagi yang sempit. Bahkan ideologi agama sekali pun. “Yang ke depan laku adalah ideologi kemakmuran,” kata saya. “Tapi karena Anda semua adalah PKS mungkin menjadi ‘kemakmuran dunia dan akherat’,” kata saya. Dan itulah yang sebenarnya sedang terjadi di PKS saat itu. Di bawah kepemimpinan Anis Matta: PKS ingin menjadi partai modern yang terbuka. Langkah nyatanya sangat simbolik: Munas PKS pun dilakukan di Bali! Dengan sangat demonstratif pula: semua pesertanya pakai udeng adat Bali.
Rupanya itulah simpang jalan yang sesungguhnya. Sejak itu terjadi bisik-bisik kader. Kelompok di dalam ada yang menganggap PKS akan dibuat keluar dari garis. Lalu terjadilah bencana sapi. Yang ditangani KPK. PKS terseret ke bencana itu. Perolehan suara PKS pun merosot —untuk pertama kali. Di Pemilu 2014.
Bencana itu, kata Fahri, bisa dihindarkan kalau sistem dalam partai dibuat modern dan terbuka. Termasuk harus ada kontrol untuk siapa saja —pun termasuk kepada dewan suro. Apakah berarti di partai baru itu nanti tidak akan ada dewan suronya? “Tetap ada. Tapi yang bisa dikontrol,” ujarnya. “Tidak mutlak lagi,” tambahnya.
Partai modern, katanya, harus sesuai dengan tuntutan negara modern. Sistem yang berlaku di negara adalah sistem yang bisa dikontrol. Berarti sistem di partai juga harus sistem yang bisa dikontrol.
Partai itu, kata Fahri, kalau menang pemilu akan mengatur negara. Kalau di tingkat partai tidak ada budaya kontrol, itu akan dibawa juga saat duduk di pemerintah. Termasuk soal Pancasila dan NKRI. “Sejak awal kami akan menyatakan partai kami berdasar Pancasila. Bagi kami Pancasila sudah selesai. Tidak perlu dibahas lagi. Demikian juga soal NKRI,” katanya. Prinsip-prinsip dasar seperti itu yang membuat Fahri tidak bisa berdamai dengan PKS. Memang ada yang menilai Fahri gila jabatan. Terutama saat ia tidak mau mundur dari posisi Wakil Ketua DPR. Padahal PKS sudah memberhentikannya dari keanggotaan partai. “Ini soal sistem yang harus ditegakkan,” katanya.
Fahri seperti ingin membuktikan diri tidak gila jabatan. Di Pemilu yang lalu ia memutuskan untuk tidak mau lagi menjadi calon anggota DPR. Padahal lewat partai apa pun ia akan terpilih. Dapilnya, di Sumbawa, memintanya. Di sana akar Fahri sangat kuat. Sekarang Fahri tidak punya jabatan apa pun. Ia akan kembali menjadi pejuang revolusioner. Dari nol lagi. Bersama Anis Matta. Dan siapa saja yang seide dengan mereka. Tapi bukankah partai pecahan akan selalu lebih kecil dari partai induk?
“Tidak selalu,” katanya. “Demokrat pernah kita anggap pecahan Golkar. Toh pernah mengalahkan Golkar,” tambahnya. “Bahkan PDI Perjuangan jauh lebih besar dari PDI yang akhirnya mati,” katanya pula. Partai baru itu, katanya, kini dalam proses di notaris. Notaris yang akan membawanya ke kementerian hukum dan HAM. “Kami targetkan sudah bisa ikut Pilkada. Sebagai partai pendukung,” katanya. Robert Lai —yang duduk di sebelah saya— asyik menikmati Kopi Revolusi. Ia tidak bisa mengikuti diskusi dalam bahasa Indonesia itu. Apalagi dalam bahasa revolusi.
“Kopi ini enak. Kuat rasa kopinya,” ujar orang Singapura ini —seperti ingin menyenangkan Fahri. Malamnya, ketika Fahri sudah tidak bersama kami, saya tanya lagi. Yang sejujurnya. “Bagaimana rasa kopinya,” tanya saya. “Tadi itu saya tidak hanya untuk menyenangkan,” jawabnya. Kopi Revolusi dijual dalam bentuk boks yang keren. Satu boks isi 10 sachet. Masing-masing beda rasa. Tertulis di belakang sase itu: Kopi Sidikalang, Kopi Wamena, Kopi Toraja, Kopi Gayo, Kopi Sumbawa…
Kalau sachet itu dirobek terdapat terdapat drip coffee filter bag. Bubuk kopinya ada di dalam basket kecil itu. Yang disangga oleh dua kupingan kertas. Kupingan itulah yang disangkutkan di bibir cangkir. Air panas dituangkap ke basket itu. Setelah kopinya larut basket diangkat. Kopinya diminum. Saya pun membuka Instagram Kopi Revolusi. Ingin mengecek seberapa Fahri serius dengan jualan kopinya. Atau hanya sekedar jualan partai. Dari instagram itu terlihat Fahri serius dengan kopinya. Dan dengaan artai barunya. Sayang saya tidak tahu manis pahitnya.(*)
Komentar