PADANG, METRO
Malang benar nasib pasangan suami istri M Nizar Lubis dan Khairatul Hayati. Anak ke-4 mereka, M Zafran Sharique Lubis (1,5 tahun) meninggal dunia, Minggu (23/2) pagi di RSUP M Djamil Padang. Zafran divonis mengalami penyakit meningitis atau radang selaput otak dan sumsum tulang belakang.
Tak hanya kematian yang mereka sedihkan, tapi tagihan rumah sakit yang mereka tanggung mencapai Rp109 juta. Entah kemana mau dicari pasangan yang hanya pedagang sate keliling di Kota Payakumbuh ini. Untuk memulangkan jenazah saja mereka kebingungan. Barulah Minggu sore bisa pulang dengan berbagai tanda tangan dan jaminan.
Winna Wahyuni Musdalifah, aktivis kemanusiaan yang mendampingi Zafran sejak dibawa ke Padang akhir Januari lalu menyebutkan, uang tagihan rumah sakit sebesar itu menjadi beban keluarga saat ini. Bahkan, mereka sempat kesulitan membawa jenazah Zafran ke Payakumbuh.
“Kami masih mengusahakan agar tagihan ini dibebaskan, atau dikurangi,” katanya kepada koran ini, kemarin.
Winna menyebutkan, Zafran sempat mengalami koma karena mengidap penyakit meningitis. Dia dirawat di RSUD Payakumbuh pada awalnya, sekitar akhir Januari 2020. Meski tak punya kartu BPJS, keluarga tetap nekat membawa berobat, karena kondisinya semakin melemah. Tak ada pilihan, karena Zafran benar-benar kesakitan. Untuk mengurus BPJS juga perlu waktu.
“Dia sempat dirawat intensif di tiga rumah sakit tanpa BPJS. Bermula hanya mengalami demam dan muntah-muntah sampai kondisi makin memburuk. Akhirnya dilarikan ke RS di Payakumbuh. Terdiagnosa menderita meningitis, Zafran dirujuk ke RS Hermina Padang dengan biaya umum. Di sana, mereka juga memiliki tunggakan Rp25 juta,” katanya.
Karena kurangnya peralatan media di RS Hermina, kata Winna, Zafran yang masih dalam kondisi koma dirujuk ke RSUP M Djamil Padang.
“Saat pindah ke RSUP M Djamil, tunggakan itu ditinggalkan dalam bentuk utang dengan jaminan terlebih dahulu,” kata mahasiswi UPI Padang ini.
Di RS M Djamil, kata Winna, pengobatan Zafran terus dilakukan, tetap tanpa BPJS. Sebenarnya, pada 5 Februari, kartu BPJS Zafran disebutkan akan aktif.
”Hari itu kami sudah mencoba bantuan kepada pejabat di Kota Padang. Akhirnya ada yang berkomunikasi dengan RS M Djamil dan dijanjikan akan dipindahkan ke BPJS, serta biaya yang tercatat telah dikurangi. Tapi ternyata, sampai meninggal malah tagihannya mencapai Rp109 juta,” kata Winna.
Winna merasa aneh, karena saat itu, istri pejabat yang dimaksud sudah mendatangi M Djamil dan berbicara langsung dengan direksi RS M Djamil. Ada pembicaraan akan segera memindahkan pelayanan ke BPJS.
“Tapi sayang, staf administrasi di sini belum tahu dan biaya terus membengkak. Jangankan dikorting, malah semakin besar,” kata Winna yang langsung memasilitasi kepulangan keluarga Zafran ke Payakumbuh.
Saat ini, sebutnya, Zafran telah berpulang. “Adek Zafran, kami sayang padamu tapi Allah lebih menyayangimu. Kami mewakili keluarga mngucapkan terima kasih banyak untuk seluruh donatur yang membantu selama ini. Semoga Allah lancarlan setala rezeki dan urusannya,” katanya.
Winna menyebut, karena utang yang sangat besar tetap ditagih, mereka masih meminta bantuan donatur untuk membantu keluarga Zafran.
“Mari sama-sama kita bantu perjuangan orang tua Zafran dengan rekening donasi 7119447512 BSM atas nama Winna Wahyuni Musdalifah. Konfirmasi dengan format nama donasi zafran kirim ke wa 083182823607,” katanya.
Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUP DR M Djamil Padang, Gustafianof menyebutkan, RSUP M Djamil Padang adalah rumah sakit negara yang harus mentaati aturan negara.
“Dalam pelayanan, kami tidak pernah mengurangi layanan kepada pasien, kami tetap melayani walaupun tanpa BPJS, bahkan tanpa uang tetap kami layani. Masalah pembayaran, berhubung ini adalah rumah sakit negara, dimana semuanya harus jelas. Dalam artian jumlah yang hingga ratusan juta tersebut, pasien ini jika tidak ada uang tentu jatuhnya pasien akan berhutang karena hal tersebut di sediakan oleh rumah sakit,” ujar Gustafianof.
Ditambahkan Gustafianof, pasien berutang pun tidak diberatkan oleh pihak rumah sakit cukup hanya dengan identitas diri dan membuat pernyataan berhutang. Pasien ini setelah meninggal, pihak keluarga hendak pulang tentu ada pernyataan bahwa ia berhutang kepada pihak rumah sakit dan yang dilakukan rumah sakit negara adalah sesuai dengan apa yang diatur oleh keuangan negara.
“Jika pasien ini nantinya tidak ada punya uang untuk membayar uang yang masuk ke kas negara ini, nantinya pihak negara akan menyurati pasien beberapa kali, jika memang tidak sanggup nanti terakhir akan ada pernyataan dari aparat daerah yang menyatakan bahwa dia tidak sanggup membayar atau mengeluarkan keterangan miskin ataupun lainnya. Yang artinya disini ada kebijakan negara,” ungkap Gustafianof.
Gustafianof menjelaskan, semua itu adalah prosedur sebagai rumah sakit negara yang harus di jalani, karena tanpa di ikuti prosedur tersebut rumah sakit tidak dibenarkan untuk memulangkan pasien tanpa adanya surat pernyataan. “Nanti jika ada pemeriksaan, tanpa adanya bukti keterangan tersebit RS akan dipertanyakan kemana biaya yang ratusan juta tersebut,” jelas Gustafianof.
Gustafianof menuturkan, untuk masalah hutang tersebut penyelesainnya tentu ada jalannya, penghapusan hutang tersebutpun juga berlaku.
“Karena ini rumah sakit, negara prosedur tadi harus dijalankan, dan nantinya KPKNL bisa membebaskan biaya hutang tersebut jika memang tidak mampu,” sebutnya.
Terkait BPJS pasien, Gustafianof menjelaskan, pihaknya hanya menjalankan apa yang telah di atur oleh BPJS. Pasien awalnya bukan pasien BPJS dan di tengah jalan BPJS pasien kemudian aktif. Sesuai dengan aturan BPJS, pasien yang dari awal tidak memiliki BPJS kemudian di tengah jalan aktif BPJS nya karena telah diurus jadi episode rawatannya harus diurus terlebih dahulu dan diselesaikan.
“Peraturan itu bisa ditanyakan langsung kepada pihak BPJS. Kami pihak rumah sakit hanya menjalankan apa yang telah di atur berdadarkan aturan yang berlaku oleh asuransi BPJS,” pungkas Gustafianof. (r)