PAYAKUMBUH, METRO – Kondisi kesehatan Muhammad Riski (5) semakin memburuk. Tangan dan kakinya terus mengecil. Berat badan Riski kian turun, nafasnya sesak. Hari-hari Riski, anak simata wayang pasangan suami istri Yusril (44) dan Sesmawati (38) hanya terbaring lemah di rumah kontrakannya.
Di rumah sederhana terbuat dari kayu yang disulap menjadi warung kecil di simpang empat Kelurahan Talang, Kecamatan Payakumbuh Barat, Kota Payakumbuh, Yusril bersama Sesmawati dan anaknya menghabiskan hari-hari penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran terhadap kondisi Riski.
Meski sudah pernah dilakukan pemeriksaan kesehatan Riski ke berbagai tempat, namun hingga kini tidak diketahui jenis penyakit yang menggerogoti tubuh Riski. Herannya, semakin hari kondisi fisik anaknya semakin buruk, tangan dan kakinya terus mengecil dan lemah.
Jika harus kembali membawa anak mereka untuk menjalani pengobatan, Sesmiwati yang hidup pas-pasan itu mengaku tidak ada daya, apalagi untuk membayar iuran BPJS, termasuk biaya untuk mendampingi putranya itu selama menjalani pengobatan nantinya.
”Riski anak kami saat lahir dalam keadaan normal. Saat lahir memang dia tidak menangis seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Kini kami hanya bisa pasrah, selain karena tidak ada biaya, juga karena penyakit apa yang diderita putra kami tidak diketahui,” sebut Sasmawati, ketika bercerita dengan awak media di rumah kontrakannya kemarin.
Yusril, yang bekerja sehari-hari sebagai pekerja pembuat kipang di Kota Payakumbuh, dengan upah pas-pasan dari bulan ke bulan, semakin menambah berat perjuangan pasutri ini untuk membawa berobat buah cintanya.
Kini, selain terus berharap bagi kesembuhan putra satu-satunya itu, Sesmiwati juga berharap adanya “tangan Tuhan” yang peduli untuk meringankan beban yang ia derita bersama suaminya. Kesembuhan Riski bagi Yusril dan Samawati adalah hal utama. Hanya kini dirinya sudah tidak memiliki biaya lagi untuk membawa anaknya itu berobat.
Sejak kehadiran Riski dalam hidup Yusril dan Sasmawati, kehidupannya sangat bahagia. Namun, sejak Riski berusia 6 bulan dan Riski mengalami sakit, sejak itu Pasutri ini mulai cemas dan dihantui rasa khawatir atas kesehatan anak yang sudah lama diidam-idamkanya hadir menjadi pelengkap hari-harinya.
“Sejak menikah, kami sangat mendambakan hadirnya buah hati. Baru setelah 5 tahun menikah, Allah mengabulkan harapan kami untuk punya anak. Meski hidup sederhana di rumah kontrakan terbuat dari papan, tapi kami bahagia dengan lahirnya Riski. Hari-hari kami terasa lengkap. Hidup kami terasa bermakna. Riski tumbuh menjadi anak pelipur Lara dihati. Namun, sejak Riski mulai sakit, rasa bahagia itu berobah menjadi rasa khawatir,” ceritanya. (us)