PADANG, METRO–Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) memiliki potensi gempa dan tsunami di pusat Megathrust Siberut Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Selain gempa dan tsunami, Sumbar juga memiliki potensi bencana alam lainnya.
Jika dirinci, maka ada enam jenis bencana yang sering terjadi dan berulang. Yaitu angin kencang, longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir bandang dan abrasi pantai.
Dari pemetaan yang dilakukan BPBD Sumbar sejak tahun 2014-2022, sedikitnya terjadi 6.274 bencana di seluruh kabupaten/kota. Bencana yang terjadi pada setiap kabupaten/kota itu berbeda sesuai dengan kondisi geografis daerah.
Dengan kondisi Sumbar yang memiliki begitu banyak potensi bencana alam tersebut, dibutuhkan upaya mitigasi guna meminimalisir risiko dan dampak yang ditimbulkan dari bencana alam yang terjadi.
“Untuk itu, setiap daerah harus memiliki peta bencana. Sehingga masing-masing daerah dapat lebih fokus pada mitigasi sesuai potensi bencana yang sering terjadi di daerahnya,” kata Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah kepada wartawan, kemarin.
Untuk mengurangi dampak bencana baik berupa kerugian harta benda dan juga keselamatan diri, maka kesiapsiagaan masyarakat harus terus ditingkatkan dan mitigasi bencana diperkuat. Pemprov Sumbar melalui BPBD Sumbar rutin melakukan simulasi bencana, mempersiapkan Early Warning System (EWS) termasuk EWS inklusi yang mengakomodir masyarakat penyandang disabilitas, ketersediaan Tempat Evakuasi Sementara (TES), jalur evakuasi dan sejumlah program lainnya.
“Di sekolah ada namanya Satuan Pendidikan Siaga Bencana (SPAB), yang tujuannya membangun budaya siaga dan aman di sekolah. Seluruh stakeholder di sekolah diberikan pelatihan tentang kebencanaan,” terang Mahyeldi.
Juga ada Kelompok Siaga Bencana (KSB) dan Desa Tangguh Bencana (Destana) di tingkat nagai/kelurahan. “Tujuan akhirnya adalah menuju Sumbar Tangguh Bencana,” tambah Mahyeldi.
Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Sumbar, Rudy Rinaldy, menjelaskan, terkait potensi gempa dan tsunami Megathrust Mentawai saat ini bisa diiibaratkan energinya masih terkunci. Untuk itu, BPBD Sumbar terus mematangkan langkah kesiapsiagaan dan mitigasi menghadapi ancaman tersebut.
Selain itu, tujuh kabupaten/kota yang berada di pesisir pantai Samudera Hindia, hendaknya dapat meningkatkan kerja sama dengan seluruh stakeholder kebencanaan untuk mitigasi bencana.
Upaya kesiapsiagaan dan mitigasi yang telah dilakukan di antaranya, menyediakan shelter di sepanjang wilayah pesisir. Saat ini sedikitnya tersedia 62 shelter tersebar di pesisir Sumbar. Shelter itu berada di bagian atas bangunan yang ditetapkan, seperti masjid, sekolah, hotel dan perkantoran. Shelter yang telah ada hendaknya dikelola dengan baik dan dipelihara serta dirawat agar terjaga kebersihannya.
“Pembangunan sekolah di daerah rawan bencana harus dilengkapi dengan shelter di bagian atas bangunan sebagai lokasi evakuasi saat terjadi gempa berpotensi tsunami. Selain sekolah, beberapa hotel, mesjid dan gedung perkantoran di Kota Padang juga dilengkapi dengan shelter,” jelas Rudy.
BPBD Sumbar juga memasang 42 unit EWS pada enam kabupaten/kota di pesisir kecuali di Kepulauan Mentawai. Untuk Kepulauan Mentawai, langkah mitigasi dilakukan dengan menerapkan kearifan lokal, seperti mengajak masyarakat evakuasi ke dataran tinggi jika terjadi gempa.
Lalu sembilan di antara 42 EWS itu adalah EWS inklusi sebagai pedoman bagi masyarakat penyandang disabilitas. “Ke depan, kita tengah mempersiapkan pengadaan 300 EWS termasuk EWS inklusi yang akan dipasang pada seluruh kabupaten/kota,” katanya.
Selanjutnya, pembuatan garis biru batas aman tsunami (Tsunami Safe Zone) pada sejumlah ruas jalan di daerah rawan gempa berpotensi tsunami. Kota Padang sudah memiliki garis biru ini pada beberapa titik sebagai tanda bagi masyarakat untuk tidak perlu evakuasi lebih jauh bila telah bertemu garis biru ini.
Namun, yang tidak kalah pentingnya adalah simulasi bencana gempa dan tsunami. Masyarakat harus menyiapkan diri menghadapi bencana, termasuk pengetahuan terkait kebencanaan juga peralatan kegawatdaruratan. Simulasi harus dilakukan berulang-ulang agar saat terjadi bencana, risiko dapat diminimalisir karena masyarakat sudah paham yang harus dilakukannya.
“Latihan atau simulasi bencana ini bukan hanya latihan sekali seumur hidup, tapi harus menjadi budaya dan pelajaran seumur hidup. Karena kita semua tahu, Sumbar adalah daerah rawan bencana, semua jenis bencana ada di Sumbar. Khusus gempa, kita tidak bisa memprediksi kapan terjadinya,” jelas Rudy.
Jadi, menyikapi potensi gempa dan tsunami megathrust itu, sebaiknya fokus pada upaya meningkatkan kesiapsiagaan mulai dari tingkat keluarga, memastikan rencana evakuasi mandiri, jalur evakuasi, memelihara shelter dan melatih kembali komunikasi risiko berbasis komunitas.
Selanjutnya, menyikapi bencana di luar gempa dan tsunami, menurut Rudy, pihaknya meminta seluruh BPBD kabupaten/kota untuk menyiapkan mitigasi bencana sesuai dengan profil bencana masing-masing daerah. Selain itu, pihaknya mendorong dilakukan sosialisasi dan gladi kesiapsiagaan dan mempedomani merefer info dari BMKG tentang perubahan cuaca dan info cuaca ekstrim.
Desa Tangguh Bencana
Untuk program Desa Tangguh Bencana (Destana), perwakilan 12 nagari yang ditunjuk sudah selesai mengikuti pelatihan masing-masing 6 nagari di Pesisir Selatan yaitu, Nagari Painan Selatan, Ampang Pulai, Taratak, Air Haji Barat, Kambang Barat dan Ampiang Parak, serta enam nagari di Padang Pariaman yaitu Nagari Kuranji Hilir, Katapiang, Malai V Suku, Manggopoh, Ulakan dan Nagari Pilubang.
Masing-masing nagari mendapatkan sertifikat pelatihan yang didalamnya mencantumkan enam komponen tentang tingkat ketangguhan suatu nagari, yaitu layanan dasar, peraturan dan kebijakan penanggulangan bencana, pencegahan dan mitigasi bencana, kesiapsiagaan darurat dan kesiapsiagaan pemulihan.
Sebelum pelatihan, ketika diuji, tingkat ketangguhannya terbilang rendah. Namun setelah pelatihan, terjadi peningkatan ketangguhan yang mencapai tingkat utama.
“Alhamdulullah. Setelah mengikuti pelatihan terjadi peningkatan terhadap komponen tingkat ketangguhan suatu nagari. Kita berharap, ilmu yang diperoleh dapat ditularkan kepada masyarakat nagari serta nagari-nagari tetangga yang juga memiliki risiko tinggi ancaman bencana,” ujar Rudy.
Destana adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.
Dalam hal ini, masyarakat nagari/kelurahan adalah pelaku utama dalam upaya penanggulangan bencana, dan sekaligus menjadi kelompok pertama yang menerima dampak bencana. Oleh karena itu, penguatan kapasitas masyarakat di nagari/kelurahan adalah upaya strategis untuk mewujudkan “Sumbar Tangguh Bencana”.
“Ini bagian dari upaya kita memperkuat mitigasi bencana. Jika mitigasi kita bagus, maka dampak ben cana bisa diminimalisir,” terang Rudy. (AD.ADPSB)