Orang yang berpuasa hakikatnya sedang belajar mengendalikan diri, menahan diri dari perselisihan. Sehingga berpuasa sejatinya melahirkan kedamaian, ketenangan dan ketentraman dalam hubungan sosial.
Kalau hari ini kita melihat ada kejadian dan perselisihan dalam kehidupan publik, atau di antara para politisi misalnya, padahal mereka sedang berpuasa, itu berarti puasanya belum sampai pada hakikat. Puasanya masih kulit belum sampai pada inti dari puasa, yaitu tidak menyebar perselisihan,kegaduhan dan provokasi di antara sesama.
Ketiga, jika ada orang yang mencaci, memaki dan memancing emosi, Rasulullah memerintahkan orang yang berpuasa untuk mengatakan : “Aku sedang berpuasa”.
Maksudnya orang yang berpuasa akan selalu menahan diri dari mengumbar emosi, dia akan bersabar untuk tidak membalas siapa saja yang menyakiti, dia akan bersabar menahan amarah. Puasa akan membentengi kita dari bersikap rekatif tanpa berpikir. Puasa adalah latihan menahan emosi dan mengendalikan diri. Dengan begitu orang yang berpuasa pada hakikatnya sedang ditraining untuk menjadi manusia hebat dan kuat.
Tentu, pada momen Ramadhan ini menjadi rahmat bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan harapan kita menjadi insan yang bertakwa. Mari kita jadikan ramadan sebagai pelindung dan pelatihan diri untuk terhindar dari perbuatan maksiat. Tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar namun, lebih kepada pembentukan karakter, sehingga kita menjadi insan yang bertakwa dan manusia yang berakhlak budi pekerti yang baik.
Diketahui semenjak dari leluhur kita orang Minangkabau, tentu masih kental dengan adat istiadat serta filsafat kehidupan hingga saat ini orang Minang masih berpegang teguh kepada Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. “Artinya di bulan Ramadan inilah kita perkuat keimanan dan ketakwaan dengan memperbanyak ibadah sebagai jati diri orang Minang.
Di bulan Ramadan ini, tentu kita berharap generasi minang ke depan terhindari dari segala perbuatan maksiat dan hal-hal yang dapat merusak norma-norma dan aqidah kita dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita jadikan bulan penuh ampunan ini untuk pelatihan sikap dan mental kita menjadi insan yang disipilin, baik terhadap diri sendiri, lingkungan maupun dalam kehidupan bernegara. Sehingga setelah Ramdhan ini usai, kita kembali terlahir sebagai insan yang bersih jasmani maupun rohani. (**)