Tak jadi Parpol Pemenang Parlemen, Prabowo dan Gerindra Dinilai Tak Bisa Berpangku Tangan ke Jokowi

SILATURAHMI— Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto disambut Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono saat acara silaturahmi.

JAKARTA, METRO–Hasil rekapitulasi KPU RI menyatakan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pilpres 2024. Prabowo-Gibran berhasil meraih 96.214.691 suara atau 58,58 persen dari total suara nasional.

Chief Research Officer Political Strategy Group (PSG) Muhammad Ahsan Ridhoi mengungkapkan bahwa Pemerintahan Pra­bowo berpotensi menghadapi tantangan politik berlapis, yang bisa berdampak pada masa depan Partai Gerindra. Ia menyebut, kemenangan Prabowo pada pilpres 2024 tak bisa dikatakan diraih secara absolut.

“Total kursi parpol koalisi pendukungnya justru minoritas di parlemen. Total Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat diproyeksikan meraup 280 kursi. Lebih sedikit dibanding total perolehan gabungan parpol pendukung Ganjar-Mah­fud dan Anies-Muhai­min yang sebanyak 300 kursi,” kata  Ahsan kepada wartawan, Senin (1/4).

Terlebih, Partai Gerindra tak keluar sebagai pemenang pemilu. Hanya menduduki peringkat ketiga setelah PDI Perjuangan dan Golkar.

Menurutnya, hal itu akan berdampak pada posisi Pra­bowo yang menjadi kurang strategis. Ia memandang, pe­merintahan Prabowo sa­ngat berpeluang disandera par­pol oposisi lewat parlemen, seperti yang pernah terj­adi pada dua tahun awal masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

“Sementara Gerindra tak memiliki magnet politik besar untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen. Terutama dalam menggalang dukungan dari parpol oposisi, yang tentu akan memaksimalkan perannya di parlemen untuk menjaga citra dan basis dukungan konstituennya sampai pemilu selanjutnya,” ujar Ahsan.

Prabowo, menurut Ahsan, memang memegang du­kungan Golkar yang jum­lah kursinya diproyeksikan terpaut tipis dari PDI Perjuangan, sehingga potensial punya magnet politik besar di parlemen. Namun, Gol­kar bukanlah partai pengusung utama Pra­bowo.

Hubungan politik di antara mereka hanya bersifat resiprokal atau timbal balik. Namun, tak ada jaminan Golkar sebagaimana parpol koalisi Prabowo selain Gerindra, akan selalu mendukung langkah Prabowo di parlemen.

“Selama ini suara Gerindra sangat dipengaruhi coattail effect dari Prabowo. Mengingat Prabowo adalah wajah tunggal partai di tengah tak ada tokoh alternatif lain yang bisa sebesar dirinya. Maka, citra buruk pada Prabowo akan sangat berdampak pada suara partai,” ucap Ahsan.

Oleh karena itu, Ahsan berpendapat Prabowo dan Gerindra perlu segera me­lakukan langkah-langkah politik strategis. Ia mengungkapkan, setidaknya ada tiga langkah yang bisa mereka ambil.

“Pertama, Prabowo ha­rus mengoptimalkan victory power game di transisi pemerintahan. Prabowo tak bisa berpangku tangan pada Jokowi dalam melakukan transisi, meskipun pemerintahannya mengu­sung ide melanjutkan,” kata Ahsan.

“Apalagi kalau sampai mengamini pendapat men­teri-menteri Jokowi yang menyatakan tak perlu ada tim transisi. Itu akan membuat pondasi pemerintahan Prabowo sangat rapuh, karena bukan ia sendiri yang membangunnya,” lanjutnya.

Kedua, Partai Gerindra harus lebih lentur dalam menjalin komunikasi di parlemen. Mengingat, Ahsan menilai yang terjadi selama ini, adalah kebe­kuan komunikasi dalam proses legislasi di parlemen akibat garis api kelompok koalisi dan oposisi.

Ketiga, Gerindra mesti memanfaatkan secara serius momentum Pilkada 2024 sebagai jalan regenerasi figur politik nasional guna menjaga dan meningkatkan basis suara pada pemilu selanjutnya.

Agar bisa membalik keadaan, menurut Ahsan, Gerindra harus memaksimalkan perjuangan di Pilkada serentak pada November 2024 mendatang. Posisi Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo, harus dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menjaring sosok-sosok potensial dari internal maupun wajah baru dari luar. Khususnya pada wilayah-wilayah strategis, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

“Dengan begitu, peluang Gerindra untuk melan­jut­­kan kemenangan di pilpres lebih terbuka. Bahkan ke­tika nanti Prabowo tak lagi ma­ju, Gerindra tetap bisa men­­jadi poros utama pe­nen­tu bangunan koalisi di pil­pres 2029,” pungkasnya. (jpg)

Exit mobile version