“Selama ini suara Gerindra sangat dipengaruhi coattail effect dari Prabowo. Mengingat Prabowo adalah wajah tunggal partai di tengah tak ada tokoh alternatif lain yang bisa sebesar dirinya. Maka, citra buruk pada Prabowo akan sangat berdampak pada suara partai,” ucap Ahsan.
Oleh karena itu, Ahsan berpendapat Prabowo dan Gerindra perlu segera melakukan langkah-langkah politik strategis. Ia mengungkapkan, setidaknya ada tiga langkah yang bisa mereka ambil.
“Pertama, Prabowo harus mengoptimalkan victory power game di transisi pemerintahan. Prabowo tak bisa berpangku tangan pada Jokowi dalam melakukan transisi, meskipun pemerintahannya mengusung ide melanjutkan,” kata Ahsan.
“Apalagi kalau sampai mengamini pendapat menteri-menteri Jokowi yang menyatakan tak perlu ada tim transisi. Itu akan membuat pondasi pemerintahan Prabowo sangat rapuh, karena bukan ia sendiri yang membangunnya,” lanjutnya.
Kedua, Partai Gerindra harus lebih lentur dalam menjalin komunikasi di parlemen. Mengingat, Ahsan menilai yang terjadi selama ini, adalah kebekuan komunikasi dalam proses legislasi di parlemen akibat garis api kelompok koalisi dan oposisi.
Ketiga, Gerindra mesti memanfaatkan secara serius momentum Pilkada 2024 sebagai jalan regenerasi figur politik nasional guna menjaga dan meningkatkan basis suara pada pemilu selanjutnya.
Agar bisa membalik keadaan, menurut Ahsan, Gerindra harus memaksimalkan perjuangan di Pilkada serentak pada November 2024 mendatang. Posisi Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo, harus dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menjaring sosok-sosok potensial dari internal maupun wajah baru dari luar. Khususnya pada wilayah-wilayah strategis, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
“Dengan begitu, peluang Gerindra untuk melanjutkan kemenangan di pilpres lebih terbuka. Bahkan ketika nanti Prabowo tak lagi maju, Gerindra tetap bisa menjadi poros utama penentu bangunan koalisi di pilpres 2029,” pungkasnya. (jpg)