Pilpres dan Tuah ka nan Manang

Oleh: Reviandi

SEMAKIN dekat Pemilihan Presiden (Pilpres), semakin panas pula apa yang terjadi di lapangan. Khusus di Sumbar, tak hanya Pemilu dan Pilpres saja yang panas, tapi cuaca juga sangat panas. Kalau diukur, bisa sampai 35-36 derajat Celcius. Meleleh para Caleg yang berkampanye, baik malam apalagi siang. Tengah hari, panas badangkang hari.

Tapi ada kejadian menarik yang terjadi seiring dengan menguatnya dukungan kepada salah satu pasangan Capres dan Cawapres. Kalau dikait-kaitkan dengan pepatah Minang, bisa berbunyi seperti ini. “Mancaliak tuah ka nan manang, maambiak contoh ka Nan sudah.” Kalau soal Pilpres, tentu yang langsung terkait ya kata menang. Kalau tak menang, ya kalah.

Mengingat banyaknya lem­­baga survei yang merilis salah satu pasangan sudah mendapatkan elektabilitas mencapai 50 persen lebih, maka Pilpres bisa saja berlangsung satu putaran. Hal ini terus digaungkan lembaga survei, terlepas soal kebenaran atau integritas lembaganya. Tapi, tak ada pula yang berani meragukan lembaga-lembaga yang integritasnya tinggi baik secara nasional ataupun lokal.

Di Sumbar, sekelompok mahasiswa mendatangi sekretariat salah satu pasangan Capres-Cawapres. Mereka jumlahnya ribuan. Mendatangi titik dari satu lokasi yang lumayan jauh. Berjalan beriringan dan berteriak “hidup mahasiswa!” Ribuan aktivis dengan berbagai warna jaket almamater itu sepertinya ingin mendemo kantor salah satu pasangan peserta Pilpres itu.

Tiba di lokasi, orasi kian keras dan padat. Matahari tetap menyengat. Mereka tetap tertib, seperti halnya demo-demo yang dilakukan mahasiswa Sumbar. Jauh dari anarkis yang merugikan. Me­reka ternyata mendesak salah satu pasangan untuk berjanji me­nepati 11 tuntutan. Semua­nya meminta si Capres-Ca­wa­pres berkomitmen mem­­ba­ngun Sumbar. Kalau ti­dak, me­re­ka akan mencabut dukungan itu.

Petinggi dari tim daerah tak ragu membubuhkan tanda tangannya. Dia berjanji akan menyampaikan surat itu kepada si Capres dan Cawapres. Dan, demo yang awalnya sedikit mencekam itu berubah menjadi lebih adem. Apalagi, sebagian kecil dari mahasiswa sempat bertemu dengan to­koh-tokoh lokal pendukung sang Capres-Cawapres. Mereka menjadi perwakilan dialog. Tak mungkin masuk semua.

Yang menarik, alasan ri­buan mahasiswa itu menyampaikan tuntutannya karena merasa yakin pasangan itu akan memenangkan Pilpres 14 Februari 2024. Mereka sepertinya bersepakat dengan rilisan lembaga survei yang menyebut salah satu pasangan calon sudah menembus angka survei 50 persen. Dan Pilpres hanya berlangsung satu putaran saja.

Esoknya, ada yang mewakili ulama se-Sumbar juga men­deklarasikan diri mendukung pasangan yang kemarin didemo mahasiswa. Mereka ma­lah terang-terangan menyatakan sebelumnya mendukung pa­sangan lain. Tapi setelah meli­hat track record, mereka yang me­ngaku punya 20 ribu anggota se-Sumbar itu memilih me­nga­lih­kan dukungan.

Para Buya dan dai itu mendatangi kantor tim daerah pasangan Capres-Cawapres. Mungkin salah satu alasannya karena mereka sudah melihat siapa yang akan memenangkan kontestasi lima tahunan ini. Tak mungkin rasanya Sumbar akan kembali ‘tagak di nan kalah’ seperti dua Pilpres sebelumnya. Yang membuat pembangunan Sumbar sedikit melambat dari daerah-daerah lain.

Mencermati hal ini, tak menutup kemungkinan dukungan-dukungan lain akan me­nga­lir kepada kandidat yang peluang menangnya sangat besar. Sangat cocok pepatah di atas yang kalau diartikan ke Bahasa Indonesia artinya “Melihat tuah kepada yang menang, mengambil contoh kepada yang sudah terjadi.” Meski kalau dikaitkan dengan Pilpres, sebenarnya belum ada yang benar-benar me­nang.

Karena yang dirilis itu baru hasil survei dari berbagai lembaga kredibel. Mungkin karena jaraknya yang lumayan jauh, bisa dua kali lipat, membuat masyarakat Sumbar berpikir ulang. Apalagi kalau disimulasikan dua putaran, hanya akan mempertegas kemenangan pasangan calon tadi. Tak ada peluang menang bagi dia kandidat lainnya dan salah satunya katanya dicintai masyarakat Sumbar.

Dalam beberapa literasi, arti pepatah itu adalah, jika kita ingin sukses maka harus belajar dari para pemenang. Karena para pemenang tersebut pasti telah melalui proses yang benar, teratur, terstruktur dan terukur. Bisa dikaitkan dengan Pilpres 2024 ini. Apakah kita akan masih tetap akan memilih yang akan kalah, kalau sudah begitu nyata terlihat kemenangan besar dari salah satu Paslon.

Bagaimana akan mengambil tuah dari yang memang ketika kita masih berdiri di pihak yang kalah. Minimal pihak yang tak ada tanda-tanda kemenangannya. Sangat amat jarang survei meleset kalau jaraknya jauh dari margin of eror survei di kisaran 2,5 persen saja. Sementara rentangnya mencapai 30 persen. Kemenangan seperti apa yang diharapkan dari calon dengan angka persentase elektabilitas yang sangat jauh di bawah.

Untuk kalimat “maambiak contoh ka nan sudah” bisa diartikan jika ingin sukses tirulah kiat-kiat yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang sukses di bidangnya. Ambil kiat-kiat yang dipakai sebagai strategi untuk keluar dari masalah yang datang atau akan muncul. Aneh rasanya kita tak belajar dari kesalahan masa lalu, terutama Pilpres 2019. Jangan lagi kita menegakkan benang basah. Tak ada yang mau kalah kan.

Pesan dari Minangkabau ini mungkin sedikit dipaksakan. Kalau dibawa-bawa pada Pilpres 2024. Tapi siapa lagi yang mau berdiri di pihak yang kalah. Apalagi sudah beberapa kali Sumbar ada di pihak yang kalah. Tapi sekarang, pihak itu punya peluang besar menang.

Seperti kata Jenderal dan penulis dari Tiongkok Sun Tzu, “Dalam sebuah peperangan, seorang jenderal yang me­nang hanya akan bertempur setelah memastikan sudah mendapatkan kemenangan. Sedangkan dia yang ditakdirkan untuk kalah adalah yang bertempur dahulu dan baru kemudian mencari kemenangan.” Kalau kita baca-baca sejarah dan apa yang terjadi, terserah kitalah mau pilih yang menang atau kalah. (Wartawan Utama)

Exit mobile version