Seolah-olah, PDIP sudah menyerah dengan Pilpres. Karena survei jagoan mereka sering disebut turun dan dipastikan kalah dari Prabowo-Gibran yang diback Up Jokowi. Survei PDIP yang selama 10 tahun stabil di posisi 1 dan dibuktikan dengan kemenangan Pileg 2014 dan 2019 sekarang terancam. Beberapa lembaga survei menempatkan Partai Gerindra yang diketuai Prabowo sebagai nomor 1.
Apakah mereka akan terlempar dari kekuasaan 2024 ini menarik untuk disimak. Apalagi saat pidato HUT, Megawati mengaku siap ‘keluar’ dari pemerintahan. Karena menurutnya Pemilu itu bukan sebuah alat bagi elite politik untuk melanggengkan kekuasaan. “Pemilu bukan alat elite politik untuk melanggengkan kekuasaan dengan segala cara,” kata Megawati.
Menurut dia, dalam sebuah penyelenggaraan pesta demokrasi itu harus selalu ada moral dan etika yang selalu dijunjung tinggi setiap peserta. “Perkuatlah akar rumput. Sebab, itulah kekuatan riil kita. Camkan hal ini sebagai sebuah napas kontemplasi kita. 51 tahun kita bisa jadi begini bukan karena elite, bukan karena Presiden, bukan karena menteri, tapi karena rakyat yang mendukung kita,” kata Megawati.
Pesan Mega ini maknanya menggelegar. Mirip dengan yang disampaikan Jokowi dalam beberapa pidatonya. “Yang menentukan itu rakyat. Yang memenangkan itu rakyat. Jadi kita harus berkoalisi dengan rakyat,” kata Jokowi yang diterjemahkan banyak analis sebagai cara melepaskan diri dari bayang-bayang Megawati selama ini.
Jokowi menjadi trending lainnya saat HUT PDIP ini. Karena dia tak hadir dan mewakilkan kepada Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Jokowi yang masih merupakan kader PDIP justru berhalangan hadir karena tengah melakukan kunjungan kerja ke luar negeri sampai 14 Januari 2024. PDIP juga tak ambil pusing dan menyebut sengaja tak mengundang Jokowi karena sudah pasti tak hadir.
Apa makna Satyam Eva Jayate PDIP sebenarnya masih saru. Tak jelas. Kebenaran mana yang akan menang dan siapa yang sedang salah. Apakah ada pihak yang sedang mempertontonkan aksi melanggengkan kekuasaan atau bagaimana. Karena sejumlah kader PDIP sebelumnya sering menyebut, ada upaya-upaya untuk memperpanjang ‘nafas’ Jokowi.
Pertama adalah langkah menjadikan Jokowi Presiden tiga periode. Dengan mengubah konstitusi yang membatasi dua periode saja baik langsung ataupun tidak. Banyak partai yang awalnya manut, tapi akhirnya reaksi publik tak memihak. Berlanjutlah dengan memperpanjang masa jabatan Presiden jadi 7-8 tahun dengan alasan pandemi Covid-19 dan krisis global. Tapi ini juga gagal, karena PDIP sendiri yang menolak di depan.
Akhirnya, majunya Gibran disebut langkah lain untuk memperpanjang kuasa Jokowi. Awalnya mungkin saja PDIP yang diminta berperan, tapi akhirnya Prabowo yang diberi kesempatan. Jadilah akhirnya PDIP harus ‘berperang’ dengan Jokowi dalam Pilpres 2024 ini. Ada yang menyebut sudah ‘talak tiga’ dan tak akan bisa bersatu kembali. Apakah mungkin ini yang disebut Satyam Eva Jayate, kebenaran pasti menang.
Tokoh besar India Mahatma Gandhi pernah berujar, “Kesalahan tidak akan menjadi kebenaran walau berulang kali diumumkan. Sebaliknya, kebenaran tidak akan jadi kesalahan walau tak seorang pun mengetahuinya.” Kita lihat saja beberapa waktu ke depan, apa makna ulang tahun ke-51 PDI Perjuangan ini. Selamat ulang tahun. (Wartawan Utama)