Memalukannya Posisi Nomor 3 Pilpres

image description

Pemilihan Presiden (Pilpres) semakin riuh dan terus jadi bahasan. Hiruk-pikuk Pemilihan Legislatif (Pileg) seperti sedikit terpinggirkan. Meski awalnya disebut tiga pasang lebih adem ketimbang head to head, tapi tampaknya tidak. Sekarang sudah seperti perang segi tiga yang membuat kadang tak jelas lagi mana kawan dan lawan.

Tiga pasangan Capres hari ini berharap bisa menang satu putaran. Atau bisa lolos ke putaran kedua jika hasil pencoblosan 14 Februari 2024 tak ada paslon yang meraih 50 persen. Dan bertarung kembali menuju 26 Juni 2024, siapa yang menang. Tak ada jaminan juga, yang menang di putaran pertama akan kembali berjaya di putaran kedua. Setidaknya, hal itu pernah terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dengan semakin panasnya Pilpres, pastinya tidak ada pasangan calon yang mau berada di posisi ketiga. Betapa memalukannya itu. Seolah-olah, tidak ada yang meng­ingin­kan mereka jadi Presiden-Wakil Pre­siden, tapi tetap memaksa maju. Kekalahan telak, posisi buncit itu pastinya akan membekas bagi diri. Apalagi, yang bertarung hanya tiga pasang. Pasti tak ada nomor empat.

Sementara Pilpres 2004 yang berlangsung dua putaran, tak serta merta membuat satu pasangan tersingkir. Karena peserta pada putaran pertama ada lima pasang, se­mentara yang lolos ke putaran ke­dua hanya Megawati-Hasyim Mu­zadi (Mega-Hasyim) yang di­sung PDIP-PDS dan Susilo Bam­bang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) yang dijagokan Demokrat, PBB dan PKPI. Keduanya kembali ber­saing dan dimenangkan oleh SBY-JK.

Sementara, tiga pasangan tersingkir di putaran pertama. Mereka adalah Wiranto Salahuddin Wahid diusung Partai Golkar, PDK dan Patriot, Amien Rais-Siswono Yudo­husodo (PAN, PKS, PBR, PNBK, PNIM, PBSD) dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (hanya PPP). Me­reka yang tersingkir akhirnya me­milih bergabung dengan yang ber­tarung di periode selanjutnya.

Sekarang, mari kita lihat, bagai­mana prediksi posisi dari partai pe­ngu­sung peserta Pilpres 2024 kalau mereka tak lolos ke putaran kedua. Kita mulai dari yang nomor urut 1, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diusung PKS, Nas­Dem dan PKB. Jika pasangan ini tak lolos, ke­mungkinan untuk tetap ber­satu akan be­rat. Karena ketiga­nya punya perbedaan prinsip yang cukup besar.

PKS, bisa diperkirakan akan bergabung ke kubu Prabowo-Gibran. Karena sejak dua Pilpres terakhir, partai dakwah ini begitu dekat dengan Prabowo Subianto. Baik saat berpasangan dengan Hatta Rajasa 2014, maupun San­diaga Uno 2019. PKS 2024 juga se­perti hampir-hampir ke Prabowo, tapi karena lebih dulu dipinang Anies dan NasDem, mereka merapat ke koalisi perubahan.

Sementara NasDem, berat untuk merapat kepada Kubu Pra­bowo-Gibran, melainkan Ganjar Pra­nowo-Mahfud MD. Hal itu ke­mungkinan karena kurang dekat­nya Ketum NasDem Surya Paloh dengan Prabowo. Terbukti dengan tidak pernahnya NasDem berga­bung dengan koalisi Prabowo dalam dua kali Pilpres terakhir. NasDem juga lebih dekat dengan Ganjar, karena pernah masuk dalam salah satu kandidat bersama Anies Bas­we­dan.

Sementara PKB yang ketumnya Muhaimin sekarang sering trending dengan tingkah ‘kocaknya’ dipasti­kan merapat ke Prabowo. Karena sebelumnya koalisi PKB sudah deklarasi dukung Prabowo bersama Golkar dan PAN. Meski akhirnya hengkang ke koalisi lain karena peluang Cak Imin jadi Cawapres. Jika gagal lolos, PKB bisa saja ‘tarik lidah’ dengan bergabung ke Pra­bowo-Gibran. Bukan karena Pra­bowo, tapi lebih karena Gibran, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi). PKB Cak Imin juga tak akan diterima keluarga Gusdur yang mendukung Ganjar.

Sesuai nomor urut, jika pa­sa­ngan Prabowo-Gibran yang diusung Gerindra, Golkar, PAN, De­mokrat, PBB, PSI, Gelora, Prima, dan Garuda yang gagal mentas ke pu­ta­ran kedua, dipastikan tidak akan so­­lid juga. Gerindra kemungkinan tidak akan mendukung Anies, melain­kan ke Ganjar. Melihat bagaimana ku­­rang baiknya hubungan Ketum Pra­­bowo dengan Anies akhir-akhir ini.

Sementara Demokrat juga hampir dipastikan ke Ganjar-Mahfud. Berkaca dari kecewanya mereka kepada koalisi perubahan yang mencampakkan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) demi Cak Imin. Sementara bagi PAN, Ganjar lebih realistis ketimbang Amin. Karena Ganjar adalah bagian dari calon PAN, bukan Anies Baswedan sejak awal.

Golkar juga sepertinya tidak akan begitu mudah merapat kepada Anies-Imin, tapi lebih dekat kepada Ganjar-Mahfud. Mengingat hu­bungan mereka yang masih terus mesra dengan PDIP yang mengu­sung Ganjar. PSI yang akan dalam dilema. Satu sisi mereka kerap menyerang Anies di DKI dan sampai hari ini, tapi di sisi lain pernah “diremehkan” oleh Ganjar. Mungkin saja PSI akan menjadi partai netral.

PBB yang selama ini cukup dekat dengan umat Islam, bisa bergabung dengan Anies-Mu­haimin. Karena memang, secara sejarah cukup dekat dengan pa­sangan itu dan partai pendu­kungnya, utamanya PKS. Untuk Gelora, Prima dan Garuda, bisa saja tidak akan mengambil sikap apa-apa. Mereka lebih bicara realistis hasil dari Pemilu 2024. Bahkan bagi Prima, mereka sudah gagal maju ke Pemilu, harus berbenah dan me­nunggu Pemilu 2029.

Pasangan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud juga bisa tergeser ke posisi yang sama dengan nomor urut mereka. Karena sejumlah survei mulai menempatkan pasangan yang diusung PDIP, PPP, Perindo dan Hanura ini di nomor terakhir. Mereka disalip oleh pasangan Anies-Imin. Hanya satu survei yang me­nem­patkan ‘pandeka rambuik putiah’ dan ‘pandeka hukum’ ini di nomor satu, yaitu Roy Morgan dari Australia. Meski pengambilan sampel jauh sebelum penetapan pasangan Capres-Cawapres.

Jika mereka tersingkir, dipastikan PDIP akan kembali ke Gibran, sebagai anak idiologisnya. Kader yang sudah membelot, tapi tidak pernah dipecat. Gibran bisa saja menjadi JK yang kembali menguasai Golkar setelah mengalahkan par­tainya itu dalam Pilpres 2024. Bisa jadi, PDIP menjadikan Gibran sebagai tokoh utama mereka me­nyam­but 2029. Kalau mendukung Anies-Imin, agak berat langkah PDIP.

Sementara PPP juga akan mudah berlabuh ke Prabowo-Gibran. Selain memang satu haluan karena sama-sama di peme­rin­tahan, juga ada nama Sandiaga Uno yang diprediksi akan memilih Prabowo ketimbang Anies. Apalagi PPP awalnya tegak lurus kepada Jokowi, meski harus tetap di Ganjar-Mahfud, karena susah menarik dukungan.

Untuk Perindo, juga akan ber­gabung dengan Prabowo-Gibran. Karena Ketum  Perindo Hary Tanoe­soedibjo sangat dekat dengan Jo­kowi. Saat ini, Perindo memang menjadi ‘corong’ utama media Gan­jar-Mahfud, karena punya peru­sahaan media berlabel MNC Grup punya Harytanoe. Pilihan ke Anies juga berat bagi Perindo (Hary) , mengingat sejarak ‘tidak baiknya’ dengan NasDem (Surya Paloh).

Untuk Partai Hanura, mereka kemungkinan harus memilih kembali jalur yang tepat 2029. Karena, survei-survei masih menem­pat­kan­nya di nomor akhir yang sangat susah melewati parliamentary threshold 4 persen untuk menuju DPR RI. Ketum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) juga pernah blunder karena diduga mengejek Prabowo tak punya istri. Sementara di lokasi dia bicara ada Ganjar Pranowo dengan istrinya Siti Atiqoh Supriyanti. Hanura akan dilema, mas uke Amin juga akan percuma.

Begitu beratnya jika harus berlangsung dua putaran. Belum lagi pasangan yang gagal, akan kemana mereka. Pasti analisanya akan berbeda-beda. Kecuali yang punya partai, akan sejalan dengan partai. Karena dari enam pasangan, ada dua yang bukan kader partai, Anies dan Mahfud. Jadi, lebih baik se­be­nar­nya Pilpres ini satu putaran. Tak akan ada partai atau tokoh yang akan dilema, mau melebur kemana.

John Calvin Thomas, atau Cal Thomas, seorang kolumnis Amerika pernah berujar, “Salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekua­saan.” Ada baiknya, pemilihan dan kekuasaan ini dipastikan segera. Jangan lama-lama, jangan ditunda-tunda. Bikin pusing saja. (Wartawan Utama)

Exit mobile version