Masih seputar Politik Transaksional

image description

Oleh: Reviandi

Politik kita memang berkem­bang sedemikian rupa. Ada yang menyebut hebat, ada yang menyebut membaik, tapi tak sedikit yang menyebut mundur. Bahkan lebih buruk dari zaman kemerdekaan, saat semua sedang belajar berpolitik. Indonesia merdeka, dan politik terus berkembang dengan baik.

Bahkan, Capres RI nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan menyebut demokrasi kita tidak baik. Politik kita masih jauh dari berkembang. Meski Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto mengatakan, demokrasi Indonesia sebenarnya sudah baik, kalau tidak, tak mungkin Anies jadi Gubernur DKI Jakarta 2017. Menang melawan pemerintah yang sedang berkuasa.

Kini, politik kita masih dipersepsikan masih belum baik. Masih didominasi atau dimonopoli oleh politik transaksional. Politik yang syarat kepentingan sampai terkait dengan uang atau money politik. Kita masih jauh dari kata berdemokrasi dengan baik. Bahkan, 2024 masih menjadi tanda tanya. Apakah politik Transaksional masih akan menjadi hal yang ditakutkan.

Politik transaksional yang katanya merajalela di Indonesia menciptakan paradigma politik yang merugikan demokrasi itu sendiri. Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Pemilukada bisa menjadi panggung utama di mana kekuatan finansial mendominasi, menggeser peran kualitas dan program kerja calon sebagai faktor penentu. Hal itu sepertinya lumrah. Tanpa uang, jangan harap mendapatkan kekuasaan.

Dalam praktik kampanye yang masih mengandalkan pembagian uang ke­pada masyarakat, tergambar stagnasi dalam inovasi kampanye politik. Tidak ada perubahan berarti. Hal ini me­nanda­kan kurangnya adaptasi terhadap dina­mika masyarakat serta ketidakmampuan untuk memprioritaskan ideo­logi dan solusi substansial yang dibawa oleh para calon.

Problematika pendanaan partai politik menjadi pukulan lebih lanjut. Sumber daya yang berasal dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan APBN/APBD ternyata belum mampu optimal dan memenuhi standar ideal. Reformasi mendalam dalam sistem pendanaan diperlukan agar partai dapat berfungsi sebagai representasi yang sejati dari aspirasi masyarakat.

Tidak ada partai politik yang benar-benar aman dalam mengelola keuangan mereka. Bahkan, para pasangan calon Pilpres ini juga ada yang diduga tersangkut dengan hal-hal haram. Bisnis-bisnis ilegal yang mengelola dana tanpa batas. Memasukkan uang untuk biaya politik yang besar. Meski masih bantah-berbantah sampai saat ini.

Dalam sektor sumber daya alam, politik transaksional tidak hanya mengakibatkan ketidaksetaraan dalam kebijakan namun juga memberi ruang pada praktik-praktik korupsi. Kebijakan yang menguntungkan oligarki tetapi merugikan keuangan negara menjadi ancaman serius terhadap integritas pemerintahan. Semua harus berebut sumber daya ini. Kalau tidak, roda partai tak akan berjalan. Para calon tak akan bisa berbuat banyak untuk merangkul suara.

Banyak tokoh yang mengakui, korupsi yang melibatkan sektor sumber daya alam, seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan, dan perikanan, menjadi catatan hitam dalam upaya pemerintah menjaga kekayaan alam negara. Perlu dilakukan penanganan cepat dan tegas untuk mencegah dampak lebih lanjut terhadap keuangan negara dan keberlanjutan lingkungan.

Solusi jangka panjang melibatkan perubahan mendalam dalam budaya politik, termasuk reformasi sistem pendanaan partai, penguatan lembaga pengawasan, dan peningkatan partisipasi publik. Hanya dengan langkah-langkah konkret ini, Indonesia dapat melangkah menuju sistem politik yang lebih tran­sparan, berintegritas, dan mampu mewa­kili kepentingan segenap lapisan ma­syarakat.

Mengatasi politik transaksional dapat dimulai dengan reformasi sistem pemilihan untuk mengurangi ketergantungan pada uang dan sumber daya yang bernilai ekonomis. Dalam proses ini, penting untuk membangun sistem yang lebih baik, di mana ideologi dan kualitas program kerja menjadi poin utama.

Pentingnya menciptakan generasi yang lebih peduli terhadap ideologi dan nilai-negara daripada hanya tergantung pada insentif finansial. Dengan demikian, politik tidak lagi menjadi arena bermain uang, tetapi juga tempat berkem­bang­nya ide dan solusi substansial. Kalau bahasa sekarangnya adu ide.

Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan agar mereka tidak mudah tergiur oleh janji politik materi dan insentif semata. Pendidikan politik yang lebih baik dapat memainkan peran kunci dalam meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap program dan ideologi sebagai faktor penentu dalam memilih pemimpin.

Dengan membenahi pendidikan politik, harapannya adalah masyarakat akan lebih mampu menilai dan memilih pemimpin berdasarkan substansi program, bukan sekadar insentif finansial.

Jika pendidikan politik menjadi lebih baik dan tepat sasaran, dapat diharapkan bahwa politik transaksional setidak­nya dapat dikurangi, menciptakan landa­san yang lebih kuat untuk sistem politik Indonesia yang transparan dan berintegritas.

Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pernah menyebut, “Bedanya kami melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan rakyat untuk memilih (pemimpin yang Bersih, Transparan dan Profesional) bukan memilih karena diberi baju kaos atau uang.” Sekarang tinggal kita melihat. Mau bagaimana Pileg dan Pilpres 2024. (Wartawan Utama)

Exit mobile version