Jangan Lupa, ada Pemilu Legislatif

Oleh: Reviandi

HEBOHNYA pemilihan Presiden (Pilpres) kian memuncak usai debat pertama calon Presiden (Capres) dua hari lalu. Semua pembicaraan sekarang tersedot dengan ‘meriahnya’ perang tiga pasangan calon (Paslon) yang sedang mencari suara itu. Meski secara survei didominasi oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tapi tak membuat dua pasangan calon lainnya menyerah begitu saja.

Saat debat Capres, mereka berusaha menunjukkan kebolehan masing-masing. Sampai saling serang dengan berbagai tema, bahkan sampai ada yang terkesan serangan pribadi. Semakin menghangatkan Pilpres, membuat Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif atau Pileg seolah terlupakan. Padahal, Pilpres dan Pileg digelar serentak pada 14 Februari 2024.

Banyak memang yang menyangka, waktu pelaksanaan Pileg dan Pilpres digelar berbeda. Padahal, ini adalah kedua kalinya Pileg dan Pilpres digelar serentak. Sebelumnya telah dimulai pada konstestasi 2019 yang digelar serentak pada 17 April 2019. Pelajaran dari tahun itulah yang membuat semua harus waspada. Jangan sampai terlalu fokus kepada Pilpres, tapi Pileg terabaikan.

Diketahui, Pileg dan Pilpres serentak ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dan putusan-putusan setelahnya, melakukan reformulasi pemaknaan Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 1945. Dalam perkara ini, MK menggunakan pendekatan penafsiran original intent, sistematik, dan gramatikal dalam memaknai pelaksanaan  Pileg serta Pilpres.

Sehingga dengan pemaknaan baru tersebut, berimplikasi ke­pada pelaksanaan Pileg dan Pilpres yang awalnya terpisah, di­lakukan secara bersamaan atau serentak. Hal ini bertujuan un­tuk menguatkan sistem presidensial sesuai rancang bangun sis­tem ketatanegaraan yang kini dianut UUD 1945 pascaperu­ba­han. Diharapkan dapat menciptakan efisiensi dalam beberapa hal.

Pastinya, dianggap dapat menghemat penggunaan uang negara untuk pembiayaan penyelenggaraan Pemilu. Sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat. Juga menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat, untuk dapat menggunakan hak pilihnya dengan cerdas.

Alasan-alasan di atas kerap disampaikan oleh hakim-hakim MK di manapun mereka memberikan ceramah, pidato dan kuliah-kuliah terbuka. Sehingga, penerapan Pemilu dan Pilpres serentak ini tetap dipertahankan pada kontestasi politik 2024. Semua pihak seperti sudah sepakat untuk memaksimalkan momentum kali ini. Tapi yang terjadi adalah, sorotan terhadap Pilpres jauh lebih tinggi dari Pileg. Sehingga membuat banyak kejadian di Pileg yang tidak terawasi.

Money politic atau politik uang yang semakin menjadi-jadi di tengah-tengah masyarakat seolah terabaikan oleh penyelenggara dan pengawas. Apalagi, saat ini memang semua Caleg sedang bergairah untuk turun ke bawah. Dengan awalnya menjual para Capres dari partainya masing-masing, lalu bermain cantik untuk mendapatkan suara demi kursi dewan, baik tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

Saat semua perhatian yang terpusat pada Pilpres telah membuat Pileg terabaikan, maka berbagai bahaya itu akan mengintai. Fenomena ini memunculkan potensi terlewatnya berbagai aspek penting seperti praktik kecurangan pemilu, money politic, dan pemaksaan pilihan yang mungkin terjadi selama prosesnya.

Pentingnya mengalihkan kembali fokus pada Pileg tak bisa diabaikan. Kecurangan Pemilu, dalam berbagai bentuknya, bisa merusak integritas demokrasi. Money politic, misalnya, dapat mempengaruhi keputusan politik dan membuat perwakilan rakyat lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu daripada kepentingan publik secara keseluruhan.

Tentu, langkah pertama yang perlu diambil adalah memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam pemilihan, baik itu pemilih, partai politik, maupun lembaga pemilihan, memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap proses tersebut. Dibutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat agar Pemilu berlangsung dengan transparan dan adil.

Alasan di balik “kekalahan” gaung Pileg yang seringkali terlupakan adalah kurangnya perhatian nasional terhadap proses tersebut. Pemberitaan yang cenderung terfokus pada Pilpres membuat Pileg hanya dipersepsikan sebagai peristiwa lokal di tingkat daerah. Pentingnya Pileg sebagai fondasi demokrasi yang kuat juga harus ditekankan secara massal agar masyarakat dapat memahami peran krusialnya.

Penting untuk dipahami bahwa hasil Pileg memiliki dampak langsung terhadap kualitas anggota Dewan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Jika pemantauan terhadap Pileg kurang, maka dapat mengakibatkan terpilihnya perwakilan yang kurang berkualitas. Fungsi parlemen sebagai lembaga yang mewakili suara rakyat dan mengawasi kebijakan pemerintah bisa terganggu.

Kualitas anggota DPR dan DPRD sangat relevan dengan keberhasilan menciptakan pemerintahan baik nasional dan lokal yang kuat dan efektif. Dengan memiliki anggota Dewan yang berkualitas, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih tepat sasaran dan berpihak kepada kepentingan masyarakat luas.

Oleh karena itu, pemantauan yang cermat terhadap Pileg menjadi krusial agar pemilihan ini tidak hanya menjadi seremoni formalitas, tetapi juga menjadi fondasi kuat bagi sistem demokrasi yang berkelanjutan. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya Pileg, diharapkan bahwa proses pemilihan ini dapat diawasi dengan lebih teliti dan bahwa hasilnya dapat mencerminkan kehendak rakyat secara lebih akurat.

Penguatan demokrasi tidak hanya terletak pada Pilpres, tetapi juga pada seluruh mekanisme pemilihan yang membentuk struktur pemerintahan secara keseluruhan. Sehingga, upaya bersama untuk memantau dan memastikan integritas Pileg menjadi langkah yang krusial bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Sekali lagi, pengalaman 2019 telah mengajari kita, bagaimana terabaikannya Pileg dan Pilpres yang dihasilkan pun juga tidak seindah yang dikira. Perpecahan, polarisasi dan ancaman kerusahan membayangi negeri ini saat dua kubu terus saling serang. Bahkan saat hasil Pilpres diumumkan, di negara ini hampir terjadi huru-hara. Beruntung akhirnya, dua belah pihak yang berseteru memutuskan berdamai dan kembali bersatu. Membangun Indonesia melewati masalah besar, yaitu pandemi Covid-19 dan ancaman krisis keuangan.

Senator dari Amerika Serikat Robert F. Kennedy mengatakan, “Pemilu mengingatkan kita tidak hanya tentang hak tetapi tanggung jawab kewarganegaraan dalam demokrasi.” Semua pihak wajib mengambil tanggung jawab mewujudkan Pemilu yang bersih dan menghasilkan orang-orang yang benar-benar mencintai negeri ini untuk mengabdi. Bukan untuk memperkaya diri sendiri. (Wartawan Utama)

Exit mobile version