Politik Interpretasi

image description

Oleh: Reviandi

Ada fenomena sedikit aneh jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ini. Terlalu banyak hal yang tidak benar-benar diungkapkan ke publik, melainkan harus diterjemahkan atau diartikan terlebih dahulu. Sebelum “dikonsumsi” oleh publik dan dibahas secara luas.

Istilahnya interpretasi atau dalam KBBI online pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran. Apalagi kalau yang bicara itu Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Banyak barisan atau lapisan yang harus menerjemahkannya sebelum diterima masyarakat.

Lihat saja saat Jokowi mengatakan akan ikut cawe-cawe pada Pilpres 2024. Publik buncah dan istilah ini mengemuka. Artinya dalam KBBI ternyata ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani. Jadi, Jokowi akan ikut membantu, menangani Pilpres. Tapi diterjemahkan, Jokowi akan ikut dalam memenangkan salah satu pasangan calon.

Bahkan, sampai-sampai Istana Kepresidenan angkat bicara terkait adanya pernyataan Jokowi yang menyebut akan campur tangan (cawe-cawe) dalam urusan atau masalah menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.

Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin menegaskan pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Ke-7 RI itu adalah bentuk keinginannya dalam memastikan pemilu serentak 2024 berjalan aman.

Lalu, Jokowi juga sempat menyatakan, dirinya memiliki data dari intelijen mengenai isi dalam hingga arah dari partai politik (parpol). Banyak lagi yang mempertanyakan kenapa Jokowi menyampaikan hal itu dan apa maksudnya.

Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno juga turut mengartikan. Dia menyebut, Jokowi ingin menunjukkan kepada publik Indonesia, Jokowi itu tahu betul. Dia itu paham betul terkait situasi politik yang memang saat ini terkait dengan pilpres.

“Sekali pun bukan ketua umum partai, tapi Jokowi itu adalah king maker yang sesungguhnya, karena begitu banyak informasi, data-data, ‘jeroan’ dari partai pun Jokowi paham betul dalam konteks itu,” katanya.

Lalu ada lagi pernyataan Jokowi yang meminta Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) untuk mengerem penanaman modal di IKN dari luar negeri atau investor asing. Pernyataan ini keluar saat meninjau pembangunan sejumlah sarana dan prasarana di Nusantara pada pekan lalu.

Siapa yang akhirnya menjelaskan, ya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Dia menjelaskan maksud dari Presiden Jokowi ini. Menurutnya, Jokowi memprioritaskan investor-investor dalam negeri untuk ikut membangun IKN. Jadi, bukan serta-merta menghilangkan investasi di IKN yang menjadi proyek utama dari Jokowi.

Lalu yang kembali menyeruak adalah pernyataan Prabowo yang menyatakan mendapatkan dukungan dari Presiden ke-6 dan ke-7 Indonesia yang pastinya mengarah kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi. Capres nomor urut 2 itu dinilai terlalu yakin mendapatkan dukungan penuh dari dua Presiden terakhir Indonesia.

Banyak yang coba mengartikan, apa yang disampaikan Prabowo itu realistis. Karena dia mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat yang merupakan partai yang didirikan SBY. Sekarang diketuai oleh anak SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Demokrat yang kecewa dengan Anies Baswedan, pastinya akan all out mendukung Prabowo Subianto.

Sementara Jokowi juga dipastikan ke Prabowo, karena anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres Prabowo. Jadi, soal ini mungkin tak perlu pula diterjemahkan atau interpretasikan. Tak mungkin rasanya, Jokowi akan mendukung calon lain, sementara putra sulungnya maju. 2019, Jokowi menjadi incumbent dan dia menjadi peserta dan juga penguasa. Tidak banyak yang mempertanyakan kenetralan Jokowi saat itu.

Nah, pada Pilpres 2024 ini, Jokowi di mana-mana menyebutkan akan netral. Hal ini juga diaminkan oleh dua pasangan lain yang pastinya berharap Jokowi akan benar-benar netral. Soal bisa atau tidak, mungkin waktu saja yang akan menjawab. Apakah seorang Presiden akan benar-benar bisa berada di “sudut” netral saat darah dagingnya sedang berjuang.

Sekarang, kita mungkin tak lagi sekadar menginterpretasikan bagaimana “netral” ala Jokowi. Kita akan sama-sama menyaksikan bagaimana Pilpres berlangsung dengan baik. Tidak ada pecah belah, adu domba dan sebagainya. Jangan lagi Pilpres membuat perpecahan. Harusnya Pilpres membuat persatuan. Karena 2019 telah mengajarkan, bagaimana “sia-sianya” saling hajar saat kontestasi.

Lebih baik bersatu membangun Indonesia. Seperti harapan Presiden Soekarno, “Bangunlah suatu dunia dimana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan.” Semoga Pilpres membuat kita lebih damai. Bukan pecah belah, apalagi perang saudara. Saat kita sibuk menginterpretasikan politik kita yang masih jauh dari kata dewasa. (Wartawan Utama)

Exit mobile version