Pilpres Memanas; Siapa Pelaku, Siapa Korban

image description

Oleh: Reviandi

MASIH tiga bulan lagi menjelang Pemilu Presiden (Pilpres), situasi Indonesia sudah memanas. Panasnya ternyata mulai mendekati Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua peserta. Awalnya, banyak yang memprediksi Pilpres akan adem, karena ada tiga pasangan Capres-Cawapres. Ternyata, sekarang saja sudah ribut.

Menariknya, yang ribut itu ternyata bukan kubu pemerintah dengan kubu “oposisi” atau yang tak masuk dalam circle pemerintah. Yang sedang bakuampeh adalah mereka yang sama-sama berada di kalangan istana. Mereka yang sama-sama “dibina” oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Awalnya cuma saling klaim dukungan. Semua merasa yakin akan didukung oleh Jokowi agar memudahkan peluang memenangkan Pilpres. Maklum saja, approval rating atau tingkat kepuasan publik kepada Jokowi mencapai 80 persen lebih pada medio 2023. Meski saat ini ada lembaga yang menyebut turun menjadi 70-an persen. Tapi tetap saja, Jokowi masih jadi penentu.

Saat masa pendaftaran ditutup, ternyata hasilnya, Jokowi memilih kubu Prabowo dengan dukungan Koalisi Indonesia Maju (KIM). Pastinya karena anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon Wakil Presiden pendamping Prabowo. Meski sempat gonjang-ganjing karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya KPU telah menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai calon dengan nomor urut 2.

Akhirnya, PDIP yang mendukung Ganjar Pranowo-Mahfud MD harus merelakan tak didukung Jokowi seperti 2014 dan 2019. PDIP harus menjadi rival dari Jokowi pada 2024. Inilah yang diduga menjadi pemantik perang urat syaraf antara kubu Jokowi dengan PDIP yang dikomandoi Ketum Megawati Soekarnoputri. Jokowi vs Mega menjadi persaingan baru di negeri ini, setelah belasan tahun mereka bekerja sama.

Akhirnya, mulai hadirlah teori-teori playing Victim atau mengklaim diri menjadi korban. Kubu Ganjar Pranowo melalui juru bicaranya Aiman Witjaksono menggelar jumpa pers yang menyatakan ada dugaan pelibatan aparat polisi dan TNI dalam memenangkan Prabowo-Gibran. Bahkan disebut sampai ada upaya menyingkronkan CCTC semua KPU dan Bawaslu se-Indonesia dengan kantor polisi atau TNI setempat.

Akhirnya, hal itu memancing sejumlah orang untuk bertindak. Aiman dilaporkan telah melancarkan berita palsu dan sejenisnya oleh sejumlah orang. Tim Ganjar-Mahfud tak tinggal diam dan menyatakan akan memberikan pendampingan kepada jurnalis yang sedang cuti atau beristirahat sejenak karena maju ke DPR RI dari Partai Perindo itu.

Lain lagi dengan Prabowo-Gibran yang menyebut, ada sejumlah kepala daerah dari PDIP yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor memaksa bawahannya untuk memenangkan PDIP dan Ganjar-Mahfud. Upaya ini terjadi di beberapa daerah bahkan sampai melibatkan para Pejabat (Pj) kepala daerah di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Mereka menilai hal ini adalah cara-cara tidak sehat untuk memenangkan satu pasangan.

Sementara pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga kerap mengekspose sejumlah alat peraga mereka baik spanduk, baliho dan lainnya dirusak oleh orang tak dikenal. Begitu juga banyak izin keramaian acara Anies-Imin yang tidak dikeluarkan atau dipindahkan. Hal ini tentu membuat tim pasangan ini meradang dan merasa terzhalimi oleh kubu pemerintah. Meski saat ini, mereka diusung dua partai pemerintah, NasDem dan PKB. Hanya PKS yang berada di luar pemerintahan.

Panasnya kondisi ini sempat diredakan oleh Jokowi dengan mengundang tiga Capres makan siang di Istana Negara. Jokowi bersama Prabowo, Ganjar dan Anies terlihat kompak. Mereka menginginkan suasana lebih adem dalam menghadapi Pilpres yang di depan mata. Jangan sampai panas ini kemana-mana dan merusak Indonesia yang sedang membangun citra negara demokrasi terbaik di dunia.

Bahkan, selanjutnya juga akan digelar makan bersama antara Wakil Presiden Ma’ruf Amien bersama calon wakil Presiden Gibran, Mahfud dan Muhaimin Iskandar. Acara ini selalu ditunda mengingat kesibukan para Cawapres berkeliling Indonesia dan Wapres yang sedang sibuk. Hal ini masih dinanti, karena dinilai ada peluang untuk meredakan suasana panas ini.

Memang, sejak lama playing victim masih menjadi langkah yang dianggap ampuh oleh politisi mendobrak popularitas dan elektabilitas. Mereka masih merasa rakyat yakin yang dizhalimi atau mengklaim dizhalimi adalah yang benar. Mereka yang sedang berjuang untuk merebut hak mereka sebagai pemenang.

Sayang, sekarang teori itu diterapkan oleh semua pasangan calon. Sehingga tidak jelas lagi siapa yang benar dan siapa yang salah. Semua merasa berjuang untuk rakyat. Merasa yang terbaik dipilih rakyat. Jadi, cukuplah kita melakukan hal-hal baik dan memilih sesuai hati nurani.

Jangan sampai kita malah terprovokasi mereka yang sedang berjuang mencari suara. Mencari dukungan. Pastinya mereka akan mencari kekuasaan.  Seorang penulis asal Amerika Serikat Napoleon Hill berujar, “Pencapaian besar pada umumnya lahir dari pengorbanan yang besar, dan bukanlah hasil dari keegoisan.” Katanya pemilih itu cerdas, mari buktikan 14 Februari 2024. (Wartawan Utama)

Exit mobile version