Larangan Riset Asing: Benarkah Pemerintah Indonesia Hambat Konservasi Satwa Liar?

Oleh: Delia Selvi Yanti (Mahasiswa Biologi, Universitas Andalas)

OPINI, POSMETROPADANG.CO.ID – Belakangan ini, sebuah episode dari podcast Scientific American yang berjudul “Science Quickly” dengan topik “Scientist Argue Conservation is Under Threat in Indonesia” menjadi perhatian yang cukup besar di kalangan ilmuwan di Indonesia, ini memicu perdebatan panjang mengenai sikap pemerintah Indonesia terhadap penelitian konservasi, terutama yang melibatkan ilmuwan asing. Apa yang dibahas dalam podcast tersebut menggugah kembali kekhawatiran lama tentang bagaimana kebijakan pemerintah berpotensi menghambat upaya konservasi satwa liar di Indonesia.

Dalam podcast tersebut, yang dipandu oleh Christopher Intagliata yang berbincang dengan dua ilmuwan konservasi terkemuka, yaitu Erik Meijaard, seorang Direktur di Borneo Futures yang merupakan perusahaan konsultan ilmiah yang berkantor pusat di Brunei Darussalam, dan Bill Laurance, seorang ahli ekologi tropis dari James Cook University di Australia. Kedua ilmuwan ini memberikan peringatan keras bahwa upaya konservasi di Indonesia menghadapi ancaman serius yang sebagian besar disebabkan oleh sikap kurang kooperatif dari pemerintah Indonesia yang sering kali membingungkan dan tidak transparan, bahkan penuh ketegangan, khususnya dalam hal kerja sama dengan ilmuwan asing yang telah lama berkontribusi dalam penelitian penting mengenai keanekaragaman hayati Indonesia yang tidak hanya krusial untuk negara ini, tetapi juga untuk keberlanjutan kehidupan satwa liar di seluruh dunia.

Podcast tersebut merujuk pada sebuah artikel yang diterbitkan di jurnal Current Biology, yang ditulis oleh Meijaard dan Laurance bersama beberapa ilmuwan lainnya, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri yang memberikan dukungan kuat terhadap temuan yang disampaikan oleh kedua ilmuwan tersebut. Dalam artikel tersebut, mereka menyoroti bagaimana sikap pemerintah Indonesia yang semakin tidak mendukung kolaborasi internasional dalam penelitian konservasi telah memperburuk situasi yang sudah sangat memprihatinkan di lapangan, khususnya terkait dengan penurunan populasi spesies-spesies langka dan terancam punah yang hanya dapat ditemukan di Indonesia, seperti orangutan, badak, dan harimau Sumatra, yang terancam punah akibat kerusakan habitat mereka yang disebabkan oleh deforestasi dan perburuan liar.

Laurance, dalam wawancaranya menggambarkan hutan-hutan di Indonesia seperti samsak tinju yang dipukul dari berbagai sisi setiap waktu yang bersamaan. Mengingat banyaknya ancaman yang harus dihadapi, mulai dari penebangan hutan yang tidak terkendali, perburuan liar yang terus terjadi, hingga fenomena alam seperti El Nino yang memicu kekeringan dan kebakaran hutan. Namun, masalah yang dihadapi bukan hanya sekadar masalah deforestasi dan kerusakan alam semata, melainkan juga berkaitan erat dengan kebebasan akademik dan independensi ilmiah.

Meijaard menceritakan pengalamannya yang penuh tantangan ketika dia dan empat rekannya seperti Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kühl, dan Serge Wich yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, tiba-tiba dilarang melanjutkan penelitian mereka di Indonesia setelah mereka menulis sebuah artikel opini yang mengkritik klaim pemerintah terkait populasi orangutan di Indonesia. Artikel tersebut, yang diterbitkan di The Jakarta Post, mempertanyakan klaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan bahwa populasi orangutan di Indonesia sedang berkembang, sementara menurut hasil penelitian yang sudah lebih dari 30 tahun dilakukan oleh Meijaard, justru menunjukkan penurunan jumlah orangutan di Indonesia. Tindakan pemerintah yang melarang mereka melanjutkan penelitian tersebut semakin memperburuk kesan adanya kebijakan antisains yang hanya berfokus pada kepentingan politik dan pencitraan pemerintah, bukan pada fakta ilmiah yang dihasilkan oleh penelitian yang independen.

Kemudian, ada surat dari KLHK yang bocor ke media yang menginstruksikan kepada taman-taman nasional untuk tidak memberikan izin penelitian kepada Meijaard dan rekan-rekannya, menambah ketegangan dalam hubungan antara ilmuwan dan pemerintah. Menurut surat tersebut, alasan yang diberikan adalah bahwa tulisan-tulisan para ilmuwan itu dianggap telah mendiskreditkan pemerintah, meskipun tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa penelitian mereka melanggar hukum. Para ilmuwan yang sebelumnya bekerja sama dengan Meijaard juga dilaporkan tidak diberikan izin untuk melanjutkan penelitian mereka.

Lalu, Abdil Mughis Mudhoffir, Koordinator KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi) memberi tanggapan, menyebut bahwa tindakan KLHK ini adalah sebuah pelanggaran terhadap kebebasan akademik yang seharusnya memberi ruang bagi data dan fakta ilmiah untuk disampaikan kepada publik tanpa adanya tekanan atau campur tangan politik. Namun, kebijakan seperti ini nyatanya bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu contoh yang masih segar adalah deportasi ilmuwan lingkungan David Gaveau pada tahun 2020 yang dipaksa keluar dari Indonesia setelah mempublikasikan temuan yang menunjukkan tingkat kebakaran hutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh pemerintah. Meski Indonesia saat ini berada dalam masa demokrasi, praktik seperti ini ternyata masih terus berlangsung dan berdampak pada kebebasan ilmiah di negara ini.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun situasi di sektor konservasi darat semakin penuh tantangan, sektor kelautan terutama yang berkaitan dengan upaya konservasi satwa laut nyatanya menunjukkan kisah yang sedikit berbeda. Misalnya, dalam organisasi Konservasi Indonesia (KI) yang telah menjalin banyak kerja sama dengan peneliti internasional, pemerintah Indonesia cenderung lebih terbuka dan mendukung kolaborasi ini. KI sendiri telah lama menjalankan proyek penelitian yang melibatkan mitra internasional, seperti penelitian populasi pari manta di kawasan Raja Ampat yang tidak hanya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, tetapi juga hasil penelitian yang dipublikasikan bersama dengan pemerintah seringkali dijadikan rujukan dalam kebijakan pengelolaan kawasan konservasi perairan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada ketegangan dalam beberapa sektor, masih ada ruang bagi kolaborasi yang sehat antara ilmuwan asing dan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.

Dengan segala tantangan yang ada, Indonesia masih memiliki peran yang sangat penting dalam upaya konservasi dunia berkat keberagaman hayati yang dimilikinya. Namun, jika kebijakan pemerintah terus menghambat penelitian ilmiah dan kerja sama internasional, maka Indonesia berisiko kehilangan kesempatan besar untuk mengatasi masalah konservasi yang semakin mendesak, dan dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga oleh dunia.

Exit mobile version