Kembali ke Indonesia di kancah internasional. Jangankan tingkat dunia, tingkat Asia Tenggara saja kita masih pas-pasan. Kita mungkin harus belajar lebih dari sekadar mencintai untuk bisa meraih hasil yang lebih tinggi dan konsisten. Sekali lagi, kita selalu menunggu ’’letupan-letupan’’ kecil yang bisa melonjakkan kiprah Indonesia di ajang olahraga dunia. Tahun ini, sepertinya ada satu lagi ’’letupan’’. Namanya Rio Haryanto. Di ambang menjadi pembalap Indonesia pertama yang berlaga di ajang balap mobil paling bergengsi di dunia: Formula 1.
Jujur, saya tidak kenal baik dengan Rio maupun keluarganya. Ketika saya pensiun jadi komentator F1 tahun 2010, dan tidak lagi rutin meliput langsung balapan ke luar negeri, Rio masih kecil, belum mencuat ke permukaan. Jadi, saya tidak akan mengaku sok kenal dan sok tahu soal Rio. Sebagai penggemar berat F1 (saya hati-hati untuk tidak bilang ’’Cinta F1’’), saya tentu luar biasa senang akhirnya akan ada pembalap Indonesia yang berlaga.
Dan kalau Rio benar-benar masuk, ini sangat beda dengan ketika Malaysia kali pertama punya pembalap F1 pada 2002 lalu. Rio telah menunjukkan kemampuan kelas dunia, bisa memenangi lomba di level GP2 (tertinggi setelah F1). Memang, akan butuh dana tidak sedikit untuk ’’membelikan’’ Rio kesempatan masuk F1. Tapi, dia benar-benar pantas menjadi satu di antara 22 pembalap yang berlaga di F1 2016.
Ingat. Michael Schumacher pada 2001 juga membeli lomba pertamanya bersama Tim Jordan-Ford. Niki Lauda pada zaman baheula juga membeli kesempatan berlombanya. Dan ini ’’letupan’’ yang benar-benar global. Walau mungkin tidak lagi pada zaman emas, F1 tetap menjadi salah satu arena paling ditonton di dunia. Setiap lombanya ditayangkan di sekitar 200 negara, dengan jumlah pemirsa miliaran. Hanya Olimpiade (setiap empat tahun sekali), dan Piala Dunia (juga empat tahun sekali) yang punya jumlah pemirsa melebihi F1.
Berapa pun mahalnya tiket Rio masuk F1, itu bisa tidak sebanding dengan nilai exposure yang didapatkan. Dan sekali lagi, ini cabang yang benar-benar global. Tidak bermaksud menyinggung, tapi sehebat apa pun kita di arena bulu tangkis, exposure-nya tidak akan sama dengan F1 (ingat, saya juga pemain dan penggemar bulu tangkis).
Saya menyadari betapa besarnya pengorbanan yang sudah dilakukan keluarga Rio untuk bisa mencapai ke titik sekarang ini. Betapa beratnya perjuangan keluarga dan manajemen Rio untuk melakukan ’’The Final Push’’, mendorongnya masuk ke ajang tertinggi. Rio, mungkin, adalah kesempatan terakhir Indonesia untuk punya pembalap di ajang balap tertinggi.
Kita semua harus mengakui betapa sulitnya mencapai apa yang telah dicapai Rio. Kemampuan finansial saja tidak cukup tanpa talenta yang real. Dan untuk mencapai ajang tertinggi, apa pun itu, talenta tetap banyak berbicara. Indonesia ini termasuk kontributor besar industri motor, yang kemudian menyokong arena MotoGP. Tapi, tanda-tanda bakal ada pembalap Indonesia di arena itu juga sulit bukan? Ironisnya, kalau ternyata Rio nanti benar-benar sukses di F1, dia justru membantu membuka jalan bagi yang lain untuk mengikuti langkahnya. Jadi yang pertama memang berat luar biasa… (*)
Komentar