PADANG, METRO–Laju inflasi Sumbar bulan Februari 2016 meningkat signifikan. Tercatat laju inflasi bulanan Sumbar periode tersebut sebesar 0,73 persen (mtm) atau lebih tinggi dibandingkan Januari 2016 sebesar 0,05 persen (mtm). Secara tahunan, laju inflasi Sumbar berada pada level 5,95 persen (yoy) sementara secara tahun berjalan mencapai 0,78 persen (ytd).
“Dengan besaran inflasi tersebut, Sumbar tercatat sebagai provinsi dengan inflasi bulanan (mtm) tertinggi secara nasional. Hal ini menunjukkan bahwa secara historis inflasi Sumbar cenderung memiliki fluktuasi yang tinggi,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sumbar, Puji Atmoko.
Kondisi ini menjadi anomali di tengah kondisi nasional yang pada umumnya mengalami deflasi bulanan sebesar -0,09 persen (mtm) dan kondisi regional Sumatera yang juga mengalami inflasi yang rendah. “Secara spasial, inflasi Kota Padang bertolak belakang dengan Bukittinggi. Kota Padang mengalami inflasi sebesar 0,86 persen (mtm), berada pada posisi kedua dari seluruh kota yang mengalami inflasi secara nasional. Sedangkan Bukittinggi tercatat deflasi -0,21 persen (mtm) atau berada pada posisi ke- 30 dari seluruh kota yang mengalami deflasi secara nasional,” urai Puji.
Puji menjelaskan, komoditas kelompok pangan bergejolak (volatile food) menjadi sumber utama tingginya tekanan inflasi Sumbar. “Kelompok ini mencatatkan inflasi bulanan sebesar 1,51 persen (mtm) sementara inflasi kelompok harga barang-barang yang diatur pemerintah (administered price) dan inflasi inti (core) masing-masing tercatat sebesar 0,87 persen (mtm) dan -0,77 persen (mtm),” jelasnya.
Selain itu, tambahnya, komoditas beras dan cabai merah kembali memberikan sumbangan yang tinggi pada inflasi kelompok volatile food seiring dengan curah hujan yang tinggi dan banjir yang terjadi di beberapa sentra produksi Sumatera Barat.
“Pada kelompok administered price, sumber tekanan utama berasal dari kenaikan harga tiket angkutan udara meskipun masih berada dalam periode low season. Khusus kelompok inti, komoditas seperti mobil, sepeda motor dan emas perhiasan memberikan andil yang cukup tinggi dalam pembentukan inflasi,” ulasnya.
Adanya peningkatan bea balik nama dan penambahan asesoris (facelift) berdampak pada kenaikan harga mobil dan motor. Sementara itu, tren peningkatan harga emas global yang ditengarai akibat meningkatnya permintaan berdampak pada peningkatan harga emas domestik.
Periode Februari 2016 diwarnai adanya deflasi pada komoditas bawang merah seiring dengan panen di wilayah sentra Nganjuk dan Brebes, penurunan harga BBM serta penurunan tarif listrik yang dilakukan bertahap sejak Desember 2015 hingga Februari 2016. “Ke depan, tekanan inflasi diperkirakan masih bersumber dari komoditas bahan pangan. Berkurangnya pasokan akibat curah hujan yang tinggi di Sumbar berpotensi memberikan tekanan inflasi kembali pada komoditas bahan pangan,” tukas Puji.
Dalam hal ini sebutnya, juga perlu diwaspadai kecukupan pasokan komoditas cabai merah khususnya dari daerah-daerah sentra produksi di Jawa ke Sumbar. Di samping itu, kebijakan pengalihan pelanggan listrik rumah tangga dengan daya 900VA ke daya 1300VA juga diperkirakan memberikan dampak yang cukup tinggi pada kelompok administered price.
Seiring peningkatan tekanan harga pada triwulan I 2016, TPID Provinsi Sumbar telah melakukan sejumlah langkah antisipasi diantaranya melakukan operasi pasar untuk komoditas beras. Operasi pasar ini berlangsung di 12 pasar yang ada di Padang dengan total kumulatif beras sebanyak 2.075 ton dari periode Desember 2015 hingga Februari 2016.
Namun demikian, upaya tersebut belum mampu secara optimal menekan kenaikan harga beras. Ke depan, TPID Provinsi Sumbar perlu segera melakukan langkah-langkah implementatif dalam upaya mengendalikan inflasi Sumbar. Untuk itu kiranya perlu dilakukan sinkronisasi pogram kerja SKPD yang berkaitan pengendalian harga dengan peta jalan (roadmap) pengendalian inflasi. (r)
Komentar