PADANG, METRO–Masyarakat Bali mampu mengelola sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (ekraf)-nya dengan baik. Hal ini berdampak terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Sebagai daerah yang memiliki nilai-nilai adat dan budaya yang sama serta objek wisata yang tidak kalah indahnya dengan Bali, sektor pariwisata dan ekraf masyarakat Sumbar, seharusnya dapat maju seperti Bali.
Untuk melihat langsung bagaimana masyarakat Bali mengelola pariwisata dan ekraf-nya, sebanyak 43 pelaku ekraf dari berbagai daerah di Sumbar mengikuti studi tiru ke Provinsi Bali, Rabu hingga Sabtu (21-24).
Kepala Bidang (Kabid) Destinasi dan Industri Pariwisata Dinas Pariwisata Provinsi Sumbar Doni Hendra, mengatakan, studi tiru pelaku ekraf di Sumbar ini sesuai daerah dapil (dapil) masing-masing Anggota DPRD Sumbar dengan memanfaatkan dana aspirasi yang menjadi bagian kegiatan Dinas Pariwisata Sumbar. Terutama untuk mendukung program unggulan (progul) Gubernur Sumbar, menciptakan 100 ribu entrepreneurship.
Doni menambahkan, kegiaan ini mengenalkan kepada pelaku ekraf, kenapa Bali bisa maju. Sumbar harus mencontoh Bali, karena Bali sama-sama memiliki budaya yang kuat dengan Sumbar. Karena wisatawan datang ke Bali dan Sumbar yang mereka lihat itu budaya.
“Bali hampir sama dengan Sumbar. Namun orang Bali memiliki semangat memasarkan ekraf dan pariwisata mereka. Mereka memiliki adat budaya dan mampu menpertahankn tradisi mereka serta menggelar event-event budaya. Itu yang kita harus lihat,” terangnya.
Doni mengatakan, studi tiru ini awalnya dimulai dari kegiatan pelatihan. Diawali dengan mengenalkan ekraf di Sumbar, di mana apabila bisa digali maksimal, bisa menjanjikan peningkatan ekonomi,” ungkapnya.
Doni menilai, ekraf Sumbar sudah bagus selama ini. Baik itu dari sisi daya inovasi dan kreatifitasnya. Namun perlu ditingkatkan. Setelah pelaku ekraf dilatih selama ini, jangan mereka hanya menerima teori saja selama ini, tapi juga melihat prakteknya langsung.
“Kini mereka bisa melihat Bali menkonsep destinasinya dengan baik. Kalau dibandingkan, Sumbar sebenarnya tidak kalah. Tapi apanya yang baik di Bali ini. Apakah penataaannya, pengelolaannya, kebersihannya, hospitality-nya? Kita ingin lihat. Kita bawa pelaku ekraf Sumbar ke Bali ini untuk melihat apa yang kurang. Mungkin produk sama tapi dari sisi pemasaran belum maksimal. Jadi tidak hanya teori saja. Tapi lihat prakteknya langsung. Melihat dan mengenal. Dengan melihat langsung timbul semangatnya, ” terangnya.
Doni berharap dengan mengikuti studi tiru ini, pelaku ekraf Sumbar mempelajari kelemahan mereka selama ini. “Produk ada, tenaga ada, SDM ada. Tapi harus belajar lagi masalah pemasaran. Setelah ini ada evaluasi, termasuk evealuasi di akhir tahun. Karena bimbingan tekhnis (bimtek) yang dilaksanakan sudah ada panduan, akan ada evaluasi-evaluasi lagi,” tambahnya.
Kegiatan studi tiru selama 4 hari pelaku ekraf yang merupakan aspirasi dari Anggota DPRD Sumbar, Ismunandi Sofyan itu mengunjungi Desa Penglipuran di Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Selain itu juga mengunjungi Desa Wisata Blangsinga, Objek Wisata Bedugul di Kabupaten Tabanan dan Pura Tanah Lot Desa Beraban.
Pemilihan Desa Penglipuran ini sebagai tujuan studi tiru, karena desa ini dinobatkan sebagai desa terbersih di Indonesia dan nomor tiga di dunia. Desa ini juga memiliki tingkat kunjungan wisatawan yang cukup tinggi dan memiliki nilai adat dan budaya yang kuat.
Anggota DPRD Sumbar, Ismunandi Sofyan mengakui, meski sering kunjungan ke Bali, namun baru kali ini dirinya mengunjungi Desa Penglipuran. Yang menarik di desa ini banyak pelaku ekraf. Termasuk juga nilai-nilai adat dan budaya yang kuat.
“Selama ini persepsi kita di sini bebas. Tapi ternyata tetap bertahan dengan adat dan budaya. Banyak ekraf di nagari-nagari di Sumbar. Kita bangga dengan Desa Penglipuran di Bali ini, Desa ini nomor tiga terbersih di dunia. Bagaimana caranya? Bagaimana adat dan budaya tidak mengganggu wisatawan. Warga melalui tenaga pencalangnya, mampu menjaga kenyamanan dan keamanan wisatawannya. Bahkan wisatawannya dibimbing. Berbeda di Sumbar yang masih ada preman dan pungutan liar (pungli). Ini yang harus kita belajar,” terangnya.
Tokoh Adat Generasi Kelima Desa Penglipuran, I Wayan Sumiarsa mengatakan, Desa Penglipuran salah satu desa adat di Provinsi Bali. Kini desa ini menjadi destinasi wisata. Banyak wisatawan yang healing di sini.
Desa Penglipuran ini ada 120 hektar lahan. Sebanyak 9 hektar lahan untuk pemukiman dan 55 hektar hutan bambu. Desa ini jumlah penduduknya 1.280 jiwa terdiri dari 315 KK. Dari 315 KK ini ada perwakilan yang dituakan yang berjumlah 78 orang. Perwakilan inilah yang mengambil keputusan dan kebijakan adat.
“Kami di desa wisata ini dibawah 78 orang. Boleh dikatakan desa wisata ini ownernya mereka. Mereka memiliki kewenangan mengambil keputusan dan kebijakan di desa ini. Baik itu dari sosial budaya. Sistem pengelolaan desa wisata ini dengan kepemilikan desa wisata 78 orang ini,” terangnya.
Dalam strukturnya, di desa ini ada rapat memilih kepengurusan. Setelah itu lalu dikeluarkan SK kepengurusan. Pengurus diminta untuk mengelola desa wisata secara profesional dan mengembangkan potensi wisata. Yang peting itu membuka lapangan pekerjaan.
Di kepengurusan tersebut ada tiga manager. Mereka melakukan diskusi untuk pemetaan kebutuhan di lapangan. “Untuk pengembangan desa wisata ini. Kita berkolaborasi dengan anak muda. Kita minta masukan terkait sistem pengelolaan. Kami komitmen lebih awal libatkan anak muda. Harus ada regenerasi ke depan. Untuk dapatkan SDM untuk kebutuhan, kita kolaborasi dengan akademisi perguruan tinggi. Kami ada transparansi melalui libatkan perguruan tinggi,” terangnya. I Wayan menambahkan, semua tim yang mengelola desa wisata ini memiliki background pariwisata. Mereka sukarela membangun desa wisata.(fan)