PADANG, METRO–Aktivis Perempuan dan Wakil Ketua Umum Perempuan Indonesia (PIRA), Edriana, SH, MA menilai, proposal perdamaian Rusia-Ukraina yang ditawarkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto di forum internasional bukti bahwa ia sosok yang pemberani dan punya sikap yang jelas. Karena perang yang tidak kunjung usai telah memberikan dampak buruk terhadap kemanusian terutama nasib anak-anak dan kaum perempuan. Menhan, Prabowo Subianto mengusulkan rencana perdamaian untuk perang di Ukraina. Salah satunya menyerukan agar kedua pasukan mundur dan membuat zona demiliterisasi dan mengundang keterlibatan PBB untuk terlibat dalam resolusi konflik di wilayah yang disengketakan.
Hal ini disampaikan Prabowo saat berbicara di International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20 di Singapura pada, Sabtu (3/6). Edriana menegaskan, perang atas alasan apapun harus diakhiri jika ingin hidup damai. Perang tidak sekadar adu gengsi siapa yang harus menang atau kalah. Namun, kemanusian harus diletakkan di atas segalanya. Banyak anak-anak yang menjadi korban dalam setiap perang, mulai dari korban fisik, trauma mental akibat setiap hari harus melihat kekerasan disekitarnya, harus terhenti sekolahnya dan kehilangan waktu bermain dengan keluarga dan temannya.
“Begitupun begitu banyak kita lihat bagaimana perempuan juga menjadi korban dari kekejaman perang. Hal tersebut yang dikemukakan oleh Prabowo sebagai alasan agar segera mengakhiri perang Rusia dan Ukrania. Sikap berani yang dipilih oleh Prabowo dengan menawarkan proposal damai konflik Rusia-Ukraina bukti bahwa ia peduli dengan nasib anak-anak dan kaum perempuan yang selalu menjadi korban kemanusiaan di wilayah perang”, jelas Edriana.
Edriana juga mengungkapkan, perempuan tidak hanya terdampak secara fisik saja, tetapi juga secara psikologis karena menyaksikan orang-orang terkasihnya yang harus pergi ke medan perang dan tidak ada kepastian apakah akan kembali pulang dalam keadaan hidup, cacat atau mati. Perang dengan alasan apapun—apakah karna agama, etnisitas atau perebutan sumberdaya dan kuasa—yang berkepanjangan bahkan menyebabkan perempuan menjadi korban pelampiasan nafsu laki-laki yang sedang berperang. Perempuan yang dipersonifikasikan sebagai simbol dari harga diri sebuah bangsa, maka perempuan menjadi korban perkosaan sebagai penaklukan dari simbol kehormatan dari negara yang sedang berperang. Perkosaan terhadap perempuan dipandang sebagai penaklukan terhadap bangsa yang diperangi atau bangsa yang dijajah. Terjadi perkosaan masal terhadap perempuan untuk menunjukkan bahwa negara “lawan” telah gagal dalam melindungi para perempuannya, perkosaan terhadap perempuan — anak perempuan, saudara perempuan, istri bahkan ibu dari para pihak yang berperang dianggap sebagai penaklukan terhadap lawan. “Di era perang dunia kedua kita mengenal Jugun Ianfu, perempuan-perempuan dijadikan budak seksual oleh penjajah pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Jugun Ianfu terkenal sebagai perempuan yang menjadi korban sebagai budak seksual tentata Jepang di negara-negara jajahannya. Termasuk Indonesia. Di mana puluhan ribu perempuan yang dipaksa menjadi Jugus Ianfu di Indonesia,” ungkapnya. Kasus yang sama kita dengar dari negara-negara yang juga pernah mengalami perang, seperti Bosni-Herzegovina dan Serbia. Perang etnis, yang istilah pembersihan etnis dengan jalan memperkosa perempuan-perempuannya.
Sementara Prabowo juga mengambil contoh pengalaman Negara-negara Asia yang banyak sekali menjadi korban penjajahan seperti perang Vietnam-AS, Perang di Kamboja, begitupun perang yang terjadi di Timur Tengah. Bahkan pengalaman Indonesia yang mengalami berkali-kali dijajah. “Pengalaman kita (Indonesia) yang berkali-kali menjadi korban dari perang berdarah,” terang Edriana.
Dalam semua perang tersebut Perempuan dan Anak menjadi korban kekejaman dari perang berdarah yang berkepanjangan. Masyarakat sipil yang harus kehilangan kehidupannya karena harus mengungsi jauh dari tanah kehidupannya. “Bagaimana perkembangan mental anak keluarga yang harus hidup di tempat pengungsian. Mereka setiap hari harus khawatir dengan nasib anak-anaknya yang selalu berpindah-pindah agar tidak tertangkap musuh, pada sisi lain mereka juga dijadikan budak seksual”, ungkap Edriana.
Perang jelas tidak menguntungkan bagi masa depan suatu negara. Perang telah menghancurkan peradaban umat manusia. Mereka tidak hanya kehilangan infrastruktur, negara tersebut harus kehilangan generasi terbaik yang meninggal dalam perang atau ketakutan hidup. Anak-anak harus kehilangan harapan mewujudkan cita-citanya yang dulu ingin jadi dokter, ilmuan, pengusaha, dan lainnya. Mereka akhirnya hanya berpikir bagaimana caranya untuk ikut berperang membantu orang tua mereka atau menyelematkan ibu dan kakak perempuan mereka yang ditahan oleh musuh.
Itulah keprihatinan yang dikemukakan oleh Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Republik Indonesia sebagai dampak dari perang. Prabowo dalam setiap pidatonya selalu menyampaikan filsafat hidup yaitu seribu kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlalu banyak. “Perang itu hanya menguntungkan orang yang memiliki bisnis senjata atau negara yang mempunyai bisnis senjata, tetapi tidak untuk dua negara yang sedang berperang. Negara mereka hancur baik untuk peradaban manusia maupun infrastruktur, lalu mereka harus menunda kemajuan sumber daya manusia bangsanya untuk pulih dari ketakutan dan kembali dengan cita-cita awalnya,” tutup Edriana.(rel/fan)