Corona virus disease 2019 (Covid-19) mewabah di seluruh pelosok bumi. Boleh dikatakan, tidak ada negara yang tidak terkena virus covid 19 ini, termasuk di Indonesia. Hal ini mengharuskan pemerintah mengambil kebijakan, demi mengurangi atau menghentikan penyebaran virus mematikan tersebut.
Kementerian dan lembaga serta layanan publik lainnya langsung mengambil langkah-langkah. Salah satunya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mengambil langkah kebijakan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Kebijakan yang diambil sudah melalui pertimbangan yang matang. Sebelumnya banyak diberitakan di media sosial kondisi sel tahanan yang penuh sesak. Sempit, tidak layak sel dihuni puluhan orang, dengan posisi berhimpitan apalagi saat mewabahnya covid-19. Hal ini menjadi momok menakutkan bagi narapidana, karena peluang menular bagi sesama napi cukup mudah.
Jika sebelumnya kondisi Lapas/Rutan tidak terlalu dilirik, dan penjara dianggap tempat yang pantas bagi mereka yang bersalah agar mendapatkan efek jera. Namun, saat ini menjadi sorotan bagi penggerak HAM di Indonesia. Memperhatikan hal tersebut, pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI memberikan program asimilasi bagi narapidana.
Asimilasi berasal dari bahasa latin yakni asimilare yang artinya menjadi sama. Sedangkan pengertian asimilasi dalam kamus bahasa Indonesia adalah penyesuaian dengan lingkungan sekitarnya.
Pemberian asimilasi ini berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No 10 Tahun 2010, yaitu tentang pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak, dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran covid-19.
Maka untuk menindaklanjuti Surat Keputusan Menteri Hukuman dan HAM tersebut, Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan surat edaran No Pas-516.PK.01.04.05 tahun 2020 tentang mekanisme pelaksanaaan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi RI No 10 tahun 2010.
Kebijakan ini mendapat sorotan dari masyarakat yang menganggap narapidana lebih baik di dalam Lapas atau Rutan dengan menjalani physical distanting dengan pengawasan ketat.
Keresahan masyarakat tidak sampai di situ saja, masyarakat juga beranggapan dengan pembebasan narapidana akan meningkatkan angka kriminalitas di tengah masyarakat. Memang tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa mereka yang dibebaskan tidak akan mengulangi tindak pidana, mengingat kehidupan masyarakat di tengah pendemi cukup sulit. Kebijakan pembebasan ini di saat pandemi seperti sekarang ini, menjadi beban pikiran bagi masyarakat.
Kebijakan pemberian pembebasan narapidana pada masa Covid-19 merupakan bentuk kepedulian negara di sisi kemanusian. Sebagaimana yang yang diinstruksikan Dewan HAM PBB Michele Bachelet dalam keterangan tertulisnya di Jenewa yang mendesak agar negara-negara untuk dapat melonggarkan populasi di penjara. Hal ini dilakukan untuk melindungi orang-orang yang ditahan di dalam fasilitas tertutup seperti penjara yang terlalu sesak. Risiko penyebaran covid-19 akan lebih mudah. Bukan hanya Indonesia negara-negara yang terdampak covid terlebih dahulu melakukannya, Amerika, Iran, Brasil, dll.
Kecemasan masyarakat terhadap pemberian asimilasi dan hak integrasi harus dapat dimengerti, tetapi masyarakat juga harus percaya bahwa pemerintah telah memperhitungkannya secara proporsional, baik bagi narapidana maupun masyarakat.
Pemberian asimilasi dan integrasi disertai dengan syarat- syarat yang tegas dinyatakan oleh pemerintah kepada narapidana yaitu yang telah menjalani setengah masa pidananya dan 2/3 masa pidananya yang jatuh pada tanggal 1 April sampai 31 Desember 2020, serta tidak terkait dengan peraturan pemerintah no 99 tahaun 2012, dan bukan warga negara asing.
Syarat lain yang mesti dipenuhi yakni: Pertama, selama menjalani pidana berkelakukan baik dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin, kedua, aktif mengikuti program pembinaan di dalam Lapas.
Artinya narapidana yang mendapakan hak tersebut sudah memenuhi kualifikasi dan bukan asal membebaskan saja. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI menegaskan bagi narapidana dan anak yang telah dibebaskan, jika berbuat tindak pidana lagi akan dimasukkan dalam straf cel (sel pengasingan ) dan diposes kembali ini dilakukan untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang baru.
Asimilasi Narapidana Diawasi Pembimbing Kemasyarakatan
Pemerintah dalam hal ini melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tetap bertanggungjawab terhadap narapidana ini selama di luar yaitu diawasi dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas) dengan teknik wawancara secara daring dengan menggunakan pendekatan kepribadian. Hal ini bertujuan agar narapidana yang mendapatkan asimilasi rumah tidak mengulangi lagi tindak pidana yang baru. Tapi peran masyarakat dan keluarga sangat diharapkan untuk dapat memantau narapidana tersebut di luar dan jika ditemukan hal-hal yang mencurigakan masyarakat dapat melaporkannya pada pihak kepolisian.
Berdasarkan pandangan kriminolog UI Adrianus Melia dan peneliti senior ICJR, berpendapat bahwa jumlah narapidana yang bebas karena asimilasi dan integrasi yang mengulangi tindak pidananya relatif kecil, dibandingkan dengan jumlah mereka yang dibebaskan. Dan pemerintah juga mengklaim bahwa pembebasan narapidana dan anak melalui program asimilasi rumah ini, membawa sejumlah dampak yang positif, salah satunya adalah menurunnya angka overcroding atau kelebihan kapasitas lapas, rutan atau lembaga pembinaan khusus anak (LPKA).
Dengan menurunnya overcroding lapas, Rutan yang semula 270.231 atau overcroding 106 persen mejadi 231.609 atau 75 persen, selain menurunnya tingkat kelebihan kapasitas juga dapat Lapas, Rutan menyiapkan ruang isolasi mandiri bagi narapidana dan anak yang diduga terpapar Covid-19. Namun ketakutan akan kejahatan yang kini tumbuh ikut membantu oleh suasana pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Orang yang tingggal di rumah banyak kehilangan pekerjaan dan pendapatan dan rasa kehawatir terjangkit penyakit covid 19. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa kesiapan narapidana menjalani asimilasi serta stigmatisasi terhadap narapidana selama ini secara tidak langsung ikut menyumbang kesan kehadiran para narapidana sangat tidak mungkin diterima oleh keluarga atau masyarakat, karena ada daya tarik bagi narapidana yang selama ini berada dalam kelompok, begitu bebas langsung mencari kawanannya kembali. (***)