PDGPARIAMAN, METRO –Tindakan kasus hukum yang melibatkan anak-anak dalam Kabupaten Padangpariaman awal tahun 2016 mulai mengkhawatirkan. Tidak hanya menjadi korban, akan tetapi para pelaku juga melibatkan anak-anak.
”Ini harus menjadi perhatian penuh oleh semua pihak dan elemen terkait. Anak-anak harus selalu dilindungi dan dijaga. Jangan sampai anak-anak kita menjadi korban tindak kekerasan atau juga terlibat sebagai pelaku kekerasan,” ungkap Ketua Divisi Pelayanan P2TP2A Saiyo Padangpariaman, saat kegiatan pendampingan terhadap anak-anak yang terlibat kasus hukum di wilayah Kota Pariaman dan Kabupaten Padangpariaman, kemarin.
Di Kabupaten Padangpariaman, terjadi 5 kasus kekerasan, di mana 3 anak berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) dan 3 anak sebagai korban (kasus pencabulan). ”Dari 3 kasus anak berhadapan dengan hukum, 2 kasus di mana anak-anak menjadi pelaku kejahatan curanmor dan 1 anak melakukan penganiayaan,” katanya.
Dijelaskan, 2 kasus sudah tuntas ditangani, yakni1 anak sudah putus hukumannya dan 1 lagi selesai dengan damai.
Sementara itu, di Kota Pariaman mencetak kasus hukum yang melibatkan anak yang jauh lebih tinggi sejak pergantian tahun. Tercatat 6 kasus yang saat ini sedang ditangani. Kesulitan paling berat yang dialami pendamping adalah kehadiran saksi. ”Kesulitannya terkait juga dengan biaya sebab si saksi di bawa ke pengadilan harus diberi makan,” katanya.
Kasus pelecehan seksual yang menjadkan anak-anak sebagai objek sebenarnya menjadi kasus yang paling banyak ditemukan sepanjang tahun. ”Tahun 2015 lalu kasus pencabulan cukup banyak. Hampir tak ada satu bulanpun sepanjang tahun yang tidal ada laporan cabul ke kami,” katanya.
Yang lebih miris, korban cabul kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu. ”Kebanyakan korban juga mengalami keyerbelakangan mental,” katanya.
Untuk persoalan ini, membuat penanganan kasus menjadi lama, sebab banyak berkas, terutama terkait pemeriksaan kejiwaan korban yang harus dipenuhi.
Fatmiyeti mencontohkan kasus yang terjadi pertengahan tahun lalu di Jorong Lantak Mingkudu, Kecamatan VI Lingkuang. ”Kasus itu sampai sekarang belum sampai pada putusan. Kami harus melengkapi banyak berkas. Sementara itu pihak penegak hukum juga kesulitan karena keterangan korban sebagai saksi utama sering berubah-ubah, karena kondisi keterbelakangan mental si korban,” tandasnya. (efa)