MK Kabulkan Gugatan Mahasiswa UI, Kampanye Pilkada Boleh Diselenggarakan di Kampus

HADIRI SIDANG— Sandy Yudha Pratama Hulu dan Stefanie Gloria selaku Pemohon Prinsipal menghadiri sidang putusan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, pada Selasa (20/08) di Ruang Sidang MK.

JAKARTA, METRO–Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohon perkara nomor 69/PUU-XXII/2024 yang diajukan dua mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dalam perkara pengujian Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada. MK mem?­bolehkan kampanye Pilkada digelar di kampus, sepanjang tidak ada atribut kampanye.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat memba­cakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8).

MK berpendapat, frasa ‘tempat pendidikan’ dalam norma Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Ta­hun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga tidak mempunyai ke­kuatan hukum mengikat secara bersyarat.

“Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi perguruan tinggi yang men­dapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu,” ucap Suhartoyo.

Sementara, dalam pertimbangannya Hakim Konstitusi Guntur Hamzah me­nyatakan, secara konstitusional, konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya sekadar dibaca bahwa Pe­milu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Te­tapi juga harus dimaknai termasuk di da­lamnya Pilkada.

Guntur memandang, pemaknaan demikian menghendaki harmonisasi atau sinkronisasi pengaturan atau hukum Pemilu untuk hal-hal yang memiliki kesamaan, antara pemilu dan Pilkada. Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu tahapan pemilu dan Pilkada dapat dinilai memiliki kesamaan adalah pe­nyelenggaraan kampanye.

“Kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu,” tegas Guntur.

“Adapun pertimbangan hukum Mahkamah ihwal mengecualikan larangan kampanye di perguruan tinggi sepanjang dilaksanakan setelah mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu secara lengkap dapat dibaca dan ditegaskan kembali,” imbuhnya.

Rezim Pemilihan

Norma larangan kampanye di kampus atau perguruan tinggi atau sebutan lain dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah. Maka terha­dap norma serupa dan sejenis yang terdapat dalam undang-undang lain semestinya pula diberikan makna yang sama.

Sebagai sistem hukum yang berlaku dalam pemilu yang sama-sama didasarkan kepada konstruksi hukum dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, membiarkan norma yang saling bertentangan tetap eksis/berlaku, dalam batas penalaran yang wajar dapat merusak kepastian hukum penyelenggaraan pemilu.

Artinya, meskipun ketentuan tersebut diatur dalam dua undang-undang yang berbeda, namun karena tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan maka untuk kepentingan kepastian hukum dan penguatan prinsip erga omnes, larangan kampanye pada “tempat pendidikan dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 69 huruf i UU 1/2015 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi/sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. (jpg)

Exit mobile version