“Kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu,” tegas Guntur.
“Adapun pertimbangan hukum Mahkamah ihwal mengecualikan larangan kampanye di perguruan tinggi sepanjang dilaksanakan setelah mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu secara lengkap dapat dibaca dan ditegaskan kembali,” imbuhnya.
Rezim Pemilihan
Norma larangan kampanye di kampus atau perguruan tinggi atau sebutan lain dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah. Maka terhadap norma serupa dan sejenis yang terdapat dalam undang-undang lain semestinya pula diberikan makna yang sama.
Sebagai sistem hukum yang berlaku dalam pemilu yang sama-sama didasarkan kepada konstruksi hukum dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, membiarkan norma yang saling bertentangan tetap eksis/berlaku, dalam batas penalaran yang wajar dapat merusak kepastian hukum penyelenggaraan pemilu.
Artinya, meskipun ketentuan tersebut diatur dalam dua undang-undang yang berbeda, namun karena tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan maka untuk kepentingan kepastian hukum dan penguatan prinsip erga omnes, larangan kampanye pada “tempat pendidikan dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 69 huruf i UU 1/2015 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi/sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. (jpg)