Jadi Saksi Dugaan Korupsi Helikopter, Mantan KSAU Mangkir dari Panggilan KPK

CEK FISIK— Penyidik KPK didampingin POM TNI melakukan cek fisik helikopter AW101.

JAKARTA, METRO–Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna tidak menghadiri panggilan alias mangkir dari pemanggilan pemeriksaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (8/9) kemarin. Seharusnya, Marsekal (Purn) TNI Agus Supriatna diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101.

Kepala bagian pemberitaan KPK, Ali Fikri menyatakan pihaknya akan me­lakukan pemanggilan ulang terhadap Agus Supriatna. Sebab keterangannya penting untuk meleng­kapi penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101.

“Kami akan jadwal ulang dan mengimbau agar para saksi kooperatif hadir sesuai jadwal panggilan yang suratnya segera kami kirimkan,” kata Ali Fikri, Jumat (9/9).

KPK sejatinya juga memanggil purnawirawan TNI Supriyanto Basuki untuk mendalami kasus ini, Kamis kemarin. Namun, dia juga mangkir dari pemanggilan KPK.

Oleh karena itu, lembaga antirasuah mengimbau agar Agus dan Supriyanto kooperatif memenuhi pang­gilan KPK. Namun, KPK belum menjelaskan secara rinci waktu pe­mang­gilan tersebut.

“Keterangan kedua saks­i ini dibutuhkan dalam proses penyidikan, sehingga menjadi lebih jelasnya perbuatan para tersangka,” tegas Ali.

Sebelumnya, KPK res­mi menahan Direktur PT. Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh alias Jhon Irfan Kenway. Dia ditahan usai diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadapaan helikopter AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017.

Irfan menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi heli AW-101 sejak 2017 atau lima tahun lalu. Irfan sebagai Direktur PT Dirgantara Jaya Mandiri bersama Lorenzo Pariani sebagai salah satu perusahaan AgustaWestland menemui Mohammad Syafei yang saat itu menjabat sebagai Asisten Perenca­naan dan Anggaran TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur, pada Mei 2015. Pertemuan itu membahas rencana pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU.

Irfan yang juga agen AgustaWestland diduga memberikan proposal harga kepada MS dengan men­cantumkan harga heli AW-101 USD 56,4 juta per unit. Di mana harga pembelian yang disepakati IKS dan pihak AW untuk satu unit AW-101 senilai USD 39,3 juta atau setara kurang lebih Rp 514,5 miliar.

Sekitar November 2015, lanjut Firli, panitia pengadaan heli AW-101 VVIP/VIP mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap prakualifikasi dengan menunjuk langsung PT Dir­gantara Jaya Mandiri sebagai pemenang proyek. Pemerintah kemudian meminta penundaan penga­daan heli AW-101 karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung.

Namun, pada 2016 pengadaan heli AW-101 kem­bali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dengan metode lelang melalui pemilihan khusus yang diikuti dua perusahaan pengadaan.

Panitia lelang diduga tetap melibatkan dan mem­percayakan IKS da­lam menghitung nilai harga perkiraan sendiri kontrak pekerjaan. Harga pe­nawaran yang diajukan IKS masih sama dengan harga penawaran pada 2015 senilai USD 56,4 juta dan disetujui oleh PPK.

Irfan juga diduga sangat aktif melakukan komunikasi dan pembahasan khusus dengan Fachri Adamy, selaku pejabat pembuat komitmen. Untuk persyaratan lelang yang hanya diikuti dua perusahaan, Irfan diduga menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya untuk mengikuti lelang ini yang disetujui PPK.

KPK menduga, Irfan Kurnia Saleh telah menerima pembayaran 100 persen. Padahal, faktanya ada beberapa item pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi dalam kontrak. Beberapa di antaranya tidak terpasangnya pintu kargo dan jumlah kursi yang berbeda.

Akibat perbuatan IKS diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar.

Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  (jpg)

Exit mobile version