Tolak Eksekusi Lahan di Kototangah, Massa Blokade Jalan dan Bakar Ban

PADANG, METRO – Eksekusi lahan seluas dua hektare atas keputusan Pengadilan Negeri Padang di Kelurahan Parupuak Tabing, Kecamatan Kototangah mendapatkan perlawanan dari massa Kaum Suku Malinsiang, Kamis (3/5) pagi. Setelah dilakukan mediasi dengan pihak kepolisian, eksekusi terpaksa ditunda untuk menghindari bentrok.
Penghadangan yang dilakukan ratusan orang itu dengan membawa spanduk dan menutup akses jalan dengan cara membakar ban di tengah jalan. Massa mengganggap lahan tersebut bukan milik Jusdin dan Dasril Permana selaku pemenang putusan, melainkan milik kaum mereka.
Sebelum petugas kepolisian tiba di lokasi untuk melakukan pengamanan, massa sudah berkumpul sekitar pukul 08.00 WIB. Massa mulai menyusun ban di tiga titik akses jalan masuk ke lokasi eksekusi sehingga akses jalan lumpuh total.
Sekitar pukul 09.00 WIB, personel Polresta Padang tiba di lokasi. Massa mulai bereaksi dengan memblokade jalan dan menghalangi petugas kepolisian yang sudah siap dengan water canon dan personel keamanan dengan peralatan tameng.
Massa berbaris di tengah jalan menghadang petugas sembari berorasi dan membentang spanduk penolakan. Mereka memperlihatkan surat bukti perjanjian kesepakatan bersama dengan pihak penggugat. Namun, petugas yang melakukan pengamanan berusaha membubarkan massa.
Situasi semakin memanas. Massa juga membawa senjata tajam untuk menolak eksekusi seperti kayu runcing dan bahkan membawa bom molotov dan perlengkapan lain. Massa melakukan pembakaran ban bekas. Api menyala, asap meninggi, suasana kian mencekam.
Tapi, upaya massa tak membuat pihak kepolisian mundur. Saat polisi sudah mempersiapkan mengeksekusi lahan, massa semakin tersulut emosi. Mulai melakukan perlawanan dan maju ke barisan petugas. Menghindari bentrok, pihak kepolisian memilih mundur dari lokasi eksekusi.
Sekitar pukul 11.30 WIB, kepolisian memutuskan menunda eksekusi. Massa yang berada di lokasi, berangsur membubarkan diri dan ban yang terbakar mulai dipadamkan, serta dibersihkan dari akses jalan. Kondisi yang semula mencekam kembali mencair.
Mamak Kepala Waris (MKW) Kaum Suku Malinsiang, Nofrialdi Nofi Sastra menceritakan tanah yang disengketaka. Tahun 2003 sengketa tanah tersebut sudah sampai di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan terakhir Mahkamah Agung. Tapi sejak perkara ini pertama digelar, mereka (Dasril Permana) itu selalu meminta damai.
”Atas permintaan dia kami menyepakati berdamai. Namun, perdamaian tahun 2006 dimediatori oleh Nasril Lubuk, Amriyono dan Fauzi Bahar (Wali Kota Padang kala itu). Kenapa kami ingin damai, karena kami menerima kabar asrama haji akan diperluas maka memperlukan tanah. Makanya kami bersedia hingga perkara ini mencuat di pengadilan,” kata Nofi Sastra.
Nofi Sastra menambahkan, melakukan perdamaian kala itu, kaumnya yang menolak eksekusi sudah mengirimkan surat ke Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (MA).
”Surat yang kami kirimkan isinya meminta membatalkan seluruh perkara yang ada. Artinya dengan perjanjian perdamaian semua masalah tidak ada, kedua kaum sepakat kembali membangun hubungan baik,” ujarnya.
Bahkan, dalam surat perjanjian itu turut disepakati, jika tanah dijual Kaum Suku Malinsiang mendapat bagian 65 persen dan pihak Dasril 35 persen. Atas perjanjian itu mereka setuju dan ditandatangani oleh mamak kepala waris dan diketahui anggota kaumnya. Dasril Permana ikut membuat perjanjian damai.
”Namun, ketika menulis surat perdamaian ini, dia (Dasril) tidak datang. Setelah itu, keputusan MA turun dan memenangkan pihak Dasril. Hingga penggugat tidak mau dan menolak surat perdamaian. Mereka mencari masalah. Sampai kita mendapat tiga kali almaning/peringatan untuk dieksekusi dari Kepala PN,” ujarnya.
Atas keputusan MA tersebut, Nofrialdi menuturkan Oktober 2016, pihak pemohon (Dasril) minta perdamaian dimediatori oleh Emzalmi dan mengubah kesepakatan dari 65 persen untuk Kaum Malinsiang dan 35 persen untuk Dasril jadi 55 untuk kaum Malinsiang dan 45 untuk mereka.
”Kami sudah mengalah, karena sudah 13 tahun berperkara kami sudah lelah. Namun selesai perjanjian perdamaian dia malah hilang. Itu kali kedua Dasril Permana hilang. Sudah empat kali rencana eksekusi. Setiap eksekusi kami selalu digertak, masyarakat banyak yang jantungan dengan kondisi seperti ini,” ujarnya.
Oleh sebab itu, melalui hasil pembicaraan pihaknya (MKW) dengan Waka Polresta menjanjikan pertemuan untuk mencari kebenaran data. Dalam hal ini, pihaknya tentu akan menghadiri pertemuan tersebut agar persoalan ini bisa diselesaika.
”Yang jelas, apapun hasilnya kami tetap menolak eksekusi, tanah kaum kami tidak bisa direbut, karena tanah ini tanah pusako. Kami memiliki hasil vonis PN tahun 1919 terkait tanah ini,” tegasnya.
Eksekusi Ditunda
Wakapolresta Padang AKBP Kobul Ritonga yang memimpin pengamanan eksekusi, melakukan dialog dengan MKW yang melakukan penolakan eksekusi. Setelah berdialog, untuk menghindari terjadinya bentrokan, Wakapolresta memutuskan eksekusi ditunda.
Kabag Ops Kompol Ediwarman mengatakan, mengingat massa yang tidak mau membubarkan diri, dan memblokade jalan serta melakukan perlawanan, pihaknya terpaksa mengambil keputusan menunda eksekusi untuk mengantisipasi kondisi yang tidak diinginkan.
”Kami sudah berdialog, eksekusi ini tidak dihentikan, tapi ditunda karena kondisi yang tidak kondusif. Kami akan memediasi pertemukan kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan. Kita sudah perintahkan seluruh anggota yang melakukan pengamanan ditarik dari lokasi,” ungkapnya.
Ediwarman menambahkan, sebelum proses eksekusi dilakukan, pihaknya telah melakukan negosiasi kaum Suku Malinsiang dan memperlihatkan sejumlah bukti surat-surat tentang tanah tersebut yang mencakup di dalamnya perdamaian dengan pihak terkait.
”Kita tidak mencampuri masalah hukum tanah ini, karena secara hukum tanah ini sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap). Namun keputusan menunda eksekusi dalam rangka mencari jalan tengah, dan kita tidak mengkedepankan sikap represif,” pungkasnya. (rg)

Exit mobile version