JAKARTA, METRO–Para Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Pemilu (DKPP) buntut mengesahkan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Para Pelapor mendalilkan bahwa Terlapor para Komisioner KPU membiarkan Gibran mengikuti proses tahapan pencalonan dengan mengabaikan prinsip kepastian hukum.
Padahal komisioner KPU mengetahui bahwa pada saat proses pencalonan itu batas usia pasangan capres adalah 40 tahun. KPU baru mengubah peraturan itu setelah proses pencalonan selesai. Para pelapor menyatakan, tindakan terlapor bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang secara imperatif diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu.
Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra menilai, tidak ada pelanggaran etik apapun yang dilakukan oleh Komisioner KPU dalam memproses pencalonan Gibran. Menurutnya, persoalan mendasar untuk DKPP menilai ada tidaknya pelanggaran etik atas norma Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP tersebut adalah bagaimana menafsirkan kata “secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan”. Kalau “secara tegas” ditafsirkan secara limitatif pada PKPU dalil tersebut seolah nampak benar adanya.
Namun menurut Yusril, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja. Di atas PKPU masih ada PP, UU dan UUD 1945. KPU memproses pencalonan Gibran, bukanlah suatu pembiaran yang merupakan tindakan pasif, tetapi merupakan suatu tindakan aktif.
“Para komisioner KPU itu bertindak demikian didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2024 yang telah mengubah ketentuan Pasal 117 UU Pemilu. Usia capres dan cawapres telah dimaknai oleh MK boleh berusia dibawah 40 tahun jika calon tersebut pernah dan/atau sedang menjabat dalam jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk Pilkada,” kata Yusri, Senin (25/12).
Putusan MK itu berdasarkan Pasal 24C UUD 45 yang menyatakan, Putusan MK bersifat final dan berlaku serta merta sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Dengan adanya Putusan MK tersebut maka norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berubah sejak tanggal itu, tanpa harus menunggu Presiden dan DPR mengubah UU Pemilu.
“KPU memang belum dapat mengubah peraturannya sendiri karena terbentur dengan jadwal tahapan Pemilu yang harus dipatuhi. Selain itu, perubahan PKPU memerlukan konsultasi dengan DPR, sementara ketika itu DPR sedang reses,” imbuhnya.
Yusril mengatakan, dalam situasi seperti itu, KPU tidak punya pilihan kecuali melaksanakan Putusan MK dan mengabaikan PKPU yang dibuatnya sendiri. Putusan MK mempunyai kedudukan yang setara dengan UU, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari PKPU.
“Dalam konteks seperti itu, KPU memilih untuk memilih untuk mena’ati Putusan MK yang kedudukannya lebih tinggi dari PKPU. Kalau KPU mena’ati peraturannya sendiri (yang belum diubah) dan mengabaikan Putusan MK, malah KPU bertindak melanggar prinsip kepastian hukum sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 11 huruf a Peraturan DKPP No. 2/2017 dan mengacaukan tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu,” ucap Yusril.
“Tindakan demikian yang justru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etik dan bisa ditjatuhi sanksi pemecatan oleh DKPP,” pungkasnya. (jpc)