Presiden Megawati

Oleh: Reviandi

Belum diumumkannya nama calon Presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada perayaan HUT ke-50 PDIP di Jakarta 10 Januari 2023 lalu memancing banyak tanda tanya. Nama Ganjar Pranowo yang disebut-sebut akan dijagokan ketimbang anak kandung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yaitu Puan Maharani juga tidak disebut. Ganjar duduk bersama kader lain tanpa keistimewaan apa-apa.

Saat pidato, Ibuk – begitu Mega disapa para kader dan menyebut diri sendiri, malah lebih banyak menyatakan keunggulan dirinya di banding menyebut nama lain. Termasuk Presiden Jokowi yang hanya tersenyum dan ketawa tipis saat namanya kerap dicolek. Megawati menyampaikan keunggulan yang dia miliki, cantik, pintar dan kharismatik.

Apa maksud Megawati itu tak ada yang berani mener­jemahkannya. Ada yang mencoba berspekulasi, Megawati akan mencalonkan dirinya sendiri. Karena, Rakernas II PDIP menegaskan, penetapan pasangan calon Presiden dan wakil Ppresiden pada Pilpres 2024, berdasarkan keputusan Kongres V, AD/ART partai, dan tradisi demokrasi partai adalah hak prerogatif Ketua Umum Megawati.

Andai benar, akhirnya Megawati menunjuk dirinya sendiri, karena tidak naiknya survei Puan Maharani dan ingin menyelamatkan trah Soekarno, maka ini akan mengguncang perpolitikan Indonesia. Sejak kalah Pilpres 2009 lalu, Nama Megawati sangat jarang dimasukkan lembaga survei dalam survei calon Presiden. Apalagi jelang Pilpres 2014, nama Joko Widodo lebih diunggulkan dan menjadi raja survei sampai memenangkan Pilpres melawan Prabowo.

Mungkin saja setelah HUT ke-50 PDIP banyak lembaga survei yang penasaran dan memastikan, berapa tingkat popularitas dan elektabilitas Megawati. Wanita pertama yang menjadi Presiden RI, dilantik 23 Juli 2001 pascamundurnya Presiden Abdurahman “Gusdur” Wahid. Sayang, Megawati tak mampu memenangkan Pilpres langsung perdana 2004. Kalah dari “anak buahnya” Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Andai benar nama Megawati dimasukkan, tentu harus kembali memulai dari bawah. Karena saat ini ada tiga nama papan atas yang kebanyakan silih berganti, tergantung lembaga surveinya. Yaitu Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Anies Baswedan dari NasDem dan Ganjar Pranowo dari PDIP. Nah, Ganjar dan PDIP tentu akan menjadi “sandungan” lain bagi Mega di tingkat survei. Karena dipastikan punya pemilih atau garisan yang sama.

Apa yang terjadi jika Mega versus Ganjar bertarung di lingkaran PDIP? Kalau di tingkat partai, tentu Mega unggul 100 persen, karena punya hak menentukan Capres secara pribadi. Menjadikan Ganjar Cawapres pun akan berisiko, tidak bertambahnya suara yang mereka rangkul. Karena PDIP menjadi satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon Presiden-Wapres tanpa koalisi.

Satu kemungkinan, hasil survei Megawati tentu akan menggerus elektabilitas Ganjar, sehingga menyebabkan Prabowo dan Anies akan semakin naik. Apalagi ketika lembaga survei mencoba mengeluarkan nama Ganjar, karena dipastikan tidak akan maju demi Megawati, maka elektabilitas Megawati kemungkinan bisa diukur dan semakin naik. Apakah akan naik tinggi? Belum tentu juga.

Dalam berbagai kesempatan, sebenarnya Megawati sangat sering mengingatkan para kader PDIP tidak terlalu percaya survei. Padahal, semua lembaga survei seperti bersepakat menjadikan PDIP adalah pemenang Pileg, kalau dilangsungkan hari ini. Tentu menjadi gambaran, 2024 masih menjadi tahunnya PDIP yang berpeluang hatrik memenangkan Pileg.

Tapi apakah Mega juga tak percaya dengan survei Pilpres yang banyak menempatkan Ganjar Pranowo di nomor 1? Perlu dipertanyakan langsung kepada Ibuk. Pada Pilpres 2014 lalu, Mega begitu legowo mundur dari Pencapresan dan menyerahkan kepada Jokowi. Jokowi hari itu disebut memiliki hasil survei yang lebih baik dari Mega yang sudah kalah dua kali. Sebenarnya tiga kali kalau dihitung Pilpres 1999 di DPR, saat dikalahkan Gusdur.

Jelang PDIP mengumumkan calonnya, apakah Ganjar, Puan, Prabowo atau Mega sendiri, kita coba lihat bagaimana perjalanan Megawati sebagai Capres, Cawapres atau Presiden. Pada Pilpres 1999, Megawati maju dengan dukungan PDIP melawan Abdurrahman Wahid dari PKB. Dalam pemungutan suara di MPR (DPR dan Utusan Daerah/DPD), dari 700 suara Gusdur mendapatkan 373 kursi atau suara (53,28 persen) dan Megawati hanya 313 kursi (44,72 persen). Menyerah 5 kursi dan abstain 9 kursi. Incumbent Presiden BJ Habibie yang sempat diusung Golkar akhirnya urung maju.

Tak sampai di sana, Mega kembali  ikut pemilihan Wakil Presiden. Diusung PDIP mendapatkan 396 suara (56,57 persen) dan Hamzah Haz yang diusung PPP mendapatkan 284 suara (40,57 persen). Abstain 20 dari total suara 700 anggota MPR. Akhirnya, Gusdur dilantik 20 Oktober 1999 dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang dilantik pada tanggal 21 Oktober 1999.

Namun saat Gusdur bermasalah dengan MPR dan “dilengserkan”, Megawati dilantik menjadi Presiden Indonesia yang kelima pada 23 Juli 2001. Sayang dia harus berhenti 20 Oktober 2004 karena kalah dari SBY. Sejak itu, Megawati lebih banyak membantu PDIP menjadi partai oposisi sampai 10 tahun dan kembali menang pada Pileg 2014.

Megawati maju dalam pertarungan Pilpres langsung perdana 2004. Sayang, Megawati-Hasyim Muzadi hanya mendapatkan suara 44.990.704 atau 39,38 persen. Sementara lawannya, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat suara 69.266.350 atau 60,62 persen. Saat itu, Megawati diusung PDIP, Golkar, PPP, PBR, PDS, PKPB dan PNIM. Sementara SYB diusung Demokrat, PKB, PKS, PAN, PBB dan PKPI.

Sementara pada Pilpres 2009, Megawati juga harus kembali kalah. Hasilnya, 25 Juli 2009, KPU menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suara nasional Pilpres 2009 yang telah dise­lenggarakan pada 22-23 Juli 2009. Megawati-Prabowo diusung PDI P dan Gerindra mendapatkan 32.548.105 suara (26,79 persen), SBY-Boediono mendapatkan suara 73.874.562 (60,8 persen) sementara JK-Wiranto hanya 15.081.814 suara (12,41 persen). SBY kembali mengalahkan Megawati dan dilantik jadi Presiden 20 Oktober 2009.

Dengan suara Megawati yang hanya pernah mendapatkan 44 juta pada 2004 dan 32 juta 2009, tentu akan sangat riskan jika harus maju pada Pileg 2024. Menilik suara Jokowi pada 2014 mencapai 70.997.85 suara (53,15 persen) dan 85.607.362 (55,50 persen) pada 2019. Jika mau jadi Presiden kembali, tentu Megawati harus mampu menggandakan suaranya. Karena, yang akan dihadapinya Prabowo yang pernah mendapatkan suara 62 juta 2014 dan 68 juta pada 2019.

Selain itu, Megawati juga harus melihat calon lainnya, Anies Baswedan yang katanya didukung NasDem, Demokrat dan PKS. Jika menggandeng Agus Harimutri Yudhoyono (AHY) atau Ahmad Heryawan (Aher), Mega harus mencari tandem yang baik juga. Belum lagi, jika Ganjar Pranowo tiba-tiba tetap maju meski tanpa kendaran PDIP. Beban berat bagi Megawati yang cantik, pintar dan kharismatik.

Sebuah kata motivasi dari Presiden pertama Indonesia Ir Soekarno perlu dicermati hari ini. “Gantungkan cita-cita mu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Mungkin ini jadi catatan penting. Kalaupun Mega kembali harus jatuh dalam Pilpres, tidak maju atau kalah, tentu dia bisa mendapatkan “bintang” dari Presiden berikutnya. Sesuai yang diharapkannya saat pidato HUT ke-50 PDIP. (Wartawan Utama)

Exit mobile version